Semarakkan Ramadhan, BEM IIQ Jakarta Adakan Bedah Buku

JAKARTA, Senin, 23/07/2012, di Aula Rusunawa Pesantren Takhasus IIQ Jakarta tengah berlangsung acara bedah buku MISYKAT yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Ushuluddin.

Bulan Ramadhan yang berkah, diperindah oleh BEM Fakultas Ushuluddin melalui programnya yakni bedah buku dengan tema “Membangun Sikap Kritis Terhadap Karya Ilmiah”. Misykat, itulah judul buku yang dibedah. Pembicaranya, sesuai request dari Dekan Fak Ushuluddin, adalah dari mahasiswi sendiri, dengan harapan mahasiswi IIQ Jakarta khususnya fak Ushuluddin bisa lebih kritis menanggapi permasalahan yang terjadi di masyarakat terlebih mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan keagamaan (Islam, dengan Al-Qur`an dan Hadisnya).

Buku yang merupakan kumpulan tulisan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi di berbagai media masa ini, dibedah oleh Intan Marta (Uth IX), Luthfiyatun Naqiyah (Uth IX), Ummi Tanzila (Uth VII), Ulfatul Maghfuroh (Uth V), dan Nur Hasanah (Uth III). Dalam pelaksanaannya, bedah buku dimoderatori Puspita Siti Hajar (Uth VII).

Pemaparan keempat pembicara merupakan tema yang saling berkaitan, yakni pada tulisan dengan judul Agama dan Filsafat Agama, Pluralisme dan Islam, Pluralisme dan Gereja, Toleransi Tanpa Pluralis, dan Sekularisme dan Liberalisme. Diuraikan bahwa dalam buku tersebut, agama Kristen, yang dalam Al-Kitabnya mengatakan bahwa bumi itu datar, tidak bisa diterima bahkan ditentang oleh para ilmuwannya karena bertentangan dengan sains. Dari sini, lalu muncul respon pihak Gereja, yang mengharuskan untuk memprivatkan agama dan tidak boleh dibawa ke publik.

Pemisahan agama dan kepemerintahan serta publik inilah yang kemudian menyebabkan adanya Sekularisme. Paham ini membatasi dan mempunyai tujuan menghabisi agama-agama. Islam pun, sebagai agama yang mempunyai jati diri, tidak diperbolehkan menampakkan kekhasan agamanya di depan publik. Ketika berkerudung di rumah, dipersilakan. Tetapi jika keluar rumah, maka kerudung tersebut harus dilepas.

Sekitar tahun 2000, Sekularisme ini menuai banyak kritikan, karena tidak mungkin manusia melepaskan diri dari agama. Sebagai tindak lanjutnya, seperti yang belakangan diketahui, pihak AS mengahancurkan gedungnya sendiri, WTC. Akan kejadian tersebut, muncullah Liberalisme yang menuntut kebebasan dalam melakukan apapun.

Selanjutnya, menyusul kemudian Pluralisme, yang mengatakan bahwa semua agama benar. Di sini pula para Liberal membunuh dan menghabisi Muslim Fundamentalis karena dianggap sebagai kedok peledak WTC. Mereka para fundamentalis, yang sebenarnya baik, menjadi “seram” di kacamata siapapun.

Ujung dari semua itu adalah adanya Relativisme, yang mengatakan semua itu relatif, kebenaran itu relatif. Dengan menganggap kebenaran itu relatif, maka menjadi tidak ada yang sungguh-sungguh benar. Hal tersebut sebagai pengaburan akan kenyataan dan fakta-fakta yang ada. Sehingga metode tafsir pun ditiadakan, dan diganti dengan Hermeneutik.

Lalu, pada buku Misykat dalam tulisannya yang berjudul Menggugat Syariah, pembicara menguraikan bahwa latar belakang penulisan dengan tema tersebut adalah adanya tiga pendapat:(1) Abdullahi Ahmad an-Naim, memaparkan bahwa syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariat. (2) Cheryl Bernard, mendefinisikan syariat sebagai produk hukum. (3) Pembela Islam liberal menulis di sebuah koran; Tidak ada hukum Tuhan. Yang ada hanya hukum manusia.

Semuanya bermaksud sama; mengartikan syariat sebagai hasil ‘Interpretasi manusia Muslim’ terhadap kitab sucinya.

Interpretasi di sini mementingkan sejarah, situasi politik, sosial, psikologis, ideologi, dan sebagainya, yang terjadi di sekitar teks wahyu diturunkan, bukan fokus terhadap teks itu sendiri. Adanya hal ini memunculkan pemahaman bahwa Al-Qur`an bukanlah wahyu suci, melainkan produk budaya Arab.

Berdasar teori tersebut, timbul rumus “Penafsiran ulama itu kondisional dan relatif, bahkan dicurigai sebagai penafsiran yang memiliki kepentingan, sedangkan yang mutlak hanyalah Tuhan”.

Ternyata semua itu hanyalah skenario intelektal untuk mengompori para cendekiawan Muslim liberal guna menumpas Muslim Fundamentalis. Keberhasilannya menghasilkan Satu Ayat Seribu Tafsir yang menghasilkan berbagai hukum baru, Kitab-kitab Tafsir Klasik tidak Relevan lagi, bahkan Tidak Konstekstual. Dimana Tafsir Baru tersebut merupakan pengamalan definisi menafsirkan dari Cheryl Bernard; menyimpang, memodifikasi, dan secara selektif mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli. Itulah liberalisasi syariat; Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapapun bebas menciptakan syariat. Islam adalah liberal, konstektual pada tiap masa-masanya.

Hal-hal yang menyalahi naluri kemanusiaan sebenarnya, ketika terkait redaksi keagamaan di sana, liberalisasi dan sekularisasi akan sontak mencuatkan protes, dengan dalih hal tersebut inkostitusional dan menyulut disintegrasi bangsa. Padahal, bukan hanya Islam, semua agama bahkan yang terkenal sebagai negara sekuler—Perancis—menolak pornografi dan pornoaksi karena memang bertentangan dengan fitrah manusiawi mereka dalam aspek kesusilaan.

Tetapi semua itu dikambinghitamkan dengan mengaitkannya pada satu agama sehingga agama lain merasa termarjinalkan peranannya, yang berujung pada penolakan naluri tersebut. Inilah yang kemudian dikedokkan para artis sebagai “Buka-bukaan boleh asal profesional”.

Sejatinya, fitrah itulah syariat. Semua undang-undang dan hukum yang merupakan arti dari syariat, tidak menentang dan sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Hukum yang ada tersebut sebagai sebuah tatanan jalan sistematis yang akan mengarahkan pada membebaskan, menyucikan, menenangkan, dan membersihkan manusia dari segala nestapa dunia.

Adapun pada tema Syariah dan Public Reason yang diurai berikutnya, yang melatar belakangi penulisannya adalah berawal dari buku Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Ide besarnya tergambar yakni syariah dapat menjadi undang-undang negara dan kebijakan publik asalkan melalui public reason. Public reason adalah tema yang digunakan John Rawl; Agama bisa menjadi asas moral. Tetapi jika dibawa ke publik, ia harus dapat dinalar oleh akal dan dapat dipahami penganut agama lain atau orang ateis sekalipun. Agama harus dimodifikasi ke dalam bahasa politik dan bukan teologi. Jadi lagi-lagi, yang bermain di sini adalah redaksi.

Public reason adalah tema yang digunakan John Rawl; Agama bisa menjadi asas moral. Tetapi jika dibawa ke publik, ia harus dapat dinalar oleh akal dan dapat dipahami penganut agama lain atau orang ateis sekalipun. Agama harus dimodifikasi ke dalam bahasa politik dan bukan teologi.

Tetapi, apakah masyarakat bisa komitmen sama terhadap proses Public reason?
An-Na’im terjebak oleh teori relativismenya. Padahal, memang, Nabi itu relatif, tetapi pemahaman Nabi itu ada yang relatif dan ada pula yang absolut. Begitu pula pemahaman ulama.

Dari doktrin tadi, menghasilkan pemahaman bahwa Syariat adalah ijtihad yang relative, sehingga karya Ulama masa lalu sudah tidak berlaku. Jadi, ijtihad tidak terbatas pada orang yang memenuhi syarat khusus, melainkan BEBAS bagi masyarakat luas. Hal ini menimbulkan dua masalah besar; (1) Karena tidak berdasar pada otoritas keilmuan, proses ijtihad dalam syariah menjadi abitrer dan menjadi banyak versi serta relative (2) Ketika syariah yang berbeda-beda tersebut dilempar ke Public Reason, bagaimana bisa menentukan point of agreement, apalagi menyepakatinya.

Konklusinya, jika syariah adalah relatif, maka seharusnya tidak diperlukan lagi adanya public reason. jika konsisten, ijtihad negara mana saja termasuk Amerika tidak perlu diterapkan ke Indonesia karena ia adalah produk nalar Amerika.

Di akhir acara, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta, menambahkan dengan himbauan agarr mahasiswi berhati-berhati terhadap segala paham baru yang telah dipaparkan, yang bahka sekarang telah muncul juga paham Islamis. Sebagai mahasiswi Qur`ani, harus bisa menjawab tantangan zaman sebagai benteng akan Islam itu sendiri.

Dikatakan oleh beliau, “Dulu, pada Perang Dunia, Negara Barat kalah dari segi militer. Jadi, sekarang Barat memerangi lewat budaya dan pemikiran. “Di Indonesia, pada tahun 1970-1980, masyarakat malu melaksanakan ibadah. Lalu, muncullah Iran mengalahkan dominasi Barat yang menjadikan umat Muslim sekarang bangga beribadah.

“Tentang relativitas, proyek Allah menurunkan Al-Qur`an adalah bukti bahwa kebenaran juga ada pada Nabi dan Ulama, bukan relatif semua. “Sayyid Quthub, sengaja dikirim ke Barat agar liberalnya lebih menjadi. Tapi justru sebaliknya. Allah memberi Hidayah sehingga dia menjadi pembela Islam.” (Ummi Tanzilah)