Penerapan Syariat Islam Berdampak Positif
JAKARTA–Penerapan syariat Islam di Aceh berdampak positif bagi kehidupan masyarakat di sana. Menurut direktur pascasarjana IIQ Jakarta, Huzaimah T Yanggo, penerapan syariat Islam ini telah berhasil mengurangi perilaku tak baik yang ada di tengah masyarakat Aceh.
Dulu, kata Huzaimah, orang-orang yang minum minuman keras maupun bermain judi terlihat di jalan-jalan. ”Namun, sejak diberlakukannya syariat Islam, hal itu tak terlihat lagi. Ini artinya, penerapan syariat Islam di Aceh memberikan dampak positif,” katanya kepada Republika, Ahad (27/9).
Huzaimah mengatakan, berdasarkan informasi yang didapatkan dari sejumlah tokoh Aceh saat berkunjung ke sana, melalui penerapan syariat Islam, seperti melakukan enam cambukan bagi mereka yang kedapatan minum minuman keras atau bermain judi, membuat para pelakunya menjadi jera dan tak melakukan hal itu lagi.
Menurut Huzaimah, itu baru enam kali cambukan. Padahal, menurut fikih, hukuman bagi penjudi dan peminum itu bisa sampai 40 kali cambukan. Ia optimistis, jika penerapan syariat Islam benar-benar dilakukan secara baik, kehidupan masyarakat Aceh akan lebih baik lagi.
”Sebab, sesungguhnya tujuan penerapan syariat Islam itu memang untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan pribadi, keluarga, maupun masyarakat,” kata Huzaimah. Ia juga mempertanyakan landasan yang dilakukan negara-negara Barat yang selama ini memandang negatif terhadap penerapan syariat Islam.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin, menyatakan sah-sah saja Aceh menerapkan syariat Islam karena memang Aceh memiliki Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus yang diperkenankan menerapkan syariat Islam. ”Insya Allah, tidak ada masalah baik buat masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia,” katanya.
Sedangkan Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Ahmad Satori Ismail, mengatakan bila suatu umat atau bangsa ingin mendapatkan keberkahan dari langit dan bumi serta rezeki yang melimpah, sudah seharusnya mereka mematuhi perintah Allah SWT sebagai pemilik langit dan bumi.
Oleh karena itu, bila masyarakat dan Pemerintah Aceh menerapkan syariat Islam dengan cara yang bijak, jujur, penuh kelembutan, dan langkah-langkah yang baik, kata Satori, insya Allah mereka akan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. ”Hal terpenting, jangan sampai salah niat,” katanya.
Penerapan syariat Islam, jelas Satori, harus benar-benar niatnya karena Allah SWT, bukan karena ingin kekuasaan dan kepentingan duniawi. Ia mengakui, untuk mampu menerapkan syariat Islam bukanlah perkara mudah. Banyak ujian dan ganjalan dari berbagai pihak, salah satunya masyarakat Barat.
Mereka, jelas Satori, memang tidak suka bila suatu umat atau suatu bangsa melaksanakan perintah Allah dengan baik. Upaya menjegal apa yang mereka lakukan tidak perlu ditanggapi serius. Namun, ia juga mengingatkan, penerapan syariat Islam harus dilakukan secara bertahap agar bisa diterima semua pihak.
Ini artinya, penerapan syariat Islam tak dilakukan secara kaku, bukan asal potong tangan misalnya. Langkah awal, masyarakat terlebih dahulu harus akidah atau tauhidnya kemudian ibadahnya, seperti shalat dan hukum-hukum Islam yang lainnya serta kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian, mereka bisa menerima penerapan syariat Islam dengan baik.
Satori mencontohkan pada masa paceklik, Khalifah Umar bin Khathab tidak memberlakukan hukum potong tangan pada seorang pelaku pencurian. Sebab, ternyata alasan pencurian itu bukan untuk memperkaya diri, tetapi karena kebutuhan mendesak. ”Ini sudah ada contohnya, penerapan syariat tidak kaku.”