Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad: Pemerintah Kurang Perhatian Terhadap ke-Al-Qur’anan di Tanah Air

JAKARTA – Rabu 30/05/12, Rektor Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA, saat ditemui di ruang kerjanya, menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah kita kurang perhatian terhadap al-Qur’an dank e al-Qur’anan di tanah air.

Menurutnya, kurangnya perhatian pemerintah ini sangat mudah dilihat. Ada beberapa indikator sebagai bukti bahwa memang pemerintah kurang perhatian terhadap al-Qur’an, di antaranya adalah: Pertama, sampai sekarang ini tidak ada satu pun perguruan tinggi al-Qur’an yang didirikan atau dimiliki pemerintah, dalam hal ini dibawah Kementerian Agama RI.

Kedua, sampai sekarang belum ada lembaga pendidikan milik pemerintah, khususnya yang dibawah Kementerian Agama, yang tercatat dapat menghasilkan para penghafal al-Qur’an (huffazh).  Kalau pun ada mahasiswa dari kampus negeri lalu hafal al-Qur’an, biasanya bukan karena kampusnya, tetapi karena ia mengkikuti program tahfizh di luar kampusnya, bisa di pesantren atau program khusus lainnya.

Ketiga, para penghafal al-Qur’an (huffazh) belum mendapatkan perhatian pemerintah secara layak. Mereka ini susah payah, dengan pengorbanan waktu, tenaga dan biaya untuk bisa menghafalkan al-Qur’an, tetapi selama ini setelah mereka menghafal tidak ada reward dari pemerintah. Padahal para penghafal al-Qur’an juga sebagaimana generasi muda lainnya, butuh kejelasan masa depan.

Di negara-negara berpenduduk Islam lain, para penghafal al-Qur’an dikaryakan menjadi Imam di masjid-masjid, dan digaji layak oleh pemerintah. Ini di antaranya di Arab Saudi, di Mesir, di Turki, di Maroko, dan juga di Brunei Darussalam. Sementara di Indonesia, terutama yang hidup di perkampungan, para penghafal al-Qur’an biasanya dibutuhkan untuk melakukan sema’an saja. Kalaupun ikut lomba di MTQ, maka hanya dapat uang saku saja, itu pun tidak besar. Belum ada jaminan masa depan yang jelas dari pemerintah kepada para penghafal al-Qur’an.

Keempat, para praktisi Musabaqah Tilawatil Qur’anselama ini tidak atau belum berasal dari lembaga pendidikan yang naungi atau dimiliki oleh pemerintah, khususnya Kementerian Agama. Dalam hal ini pemerintah, melalui Kementerian Agama, sifatnya hanya memfasilitasi saja.

Kelima, kurikulum Ilmu-Ilmu al-Qur’an di Perguruan Tinggi pemerintah, khususnya Kementerian Agama, belum menjadikan Ilmu Qira’at, Ilmu Rasm Utsmani dan yang semacamnya sebagai mata kuliah tersendiri, dan masih menyatu dalam mata kuliah Ulum al-Qur’an (Quranic Studies)

Keenam, di Indonesia belum ada media massa, baik televise, media cetak atau pun radio yang mengkhususkan diri untuk menyiarkan dan mempublish segala hal yang terkait dengan al-Qur’an. Ketujuh, Taman-Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA atau TPQ), di Indonesia selama ini, muncul dan berkembang dikarenakan kreatifitas dan inisiasi dari masyarakat. Memang pemerintah terkadang juga memberi perhatian, tetapi masih jauh dari memadai. Demikian tujuh point yang menjadi indikator kurangnya pemerintah dalam memperhatikan ke al-Qur’anan di tanah air. (AM)