Menyelami Lautan Kritik Tafsir
Judul : Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir
Penulis : Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc. MA
Penerbit : Azzamedia Jakarta
Tahun : Cetakan I, Maret 2015
Tebal : xii + 320 hlm
Ukuran : 15 x 23 cm
ISBN : 978-602-19116-9-3
Sejak diturunkan 14 abad silam, kitab suci Al-Quran hingga kini telah melahirkan aneka literatur tafsir yang luar biasa jumlah dan jenisnya. Ratusan ribu lembar tafsir berusaha membuka tabir 6000-an ayat Al-Quran. Sebagai teks turunan, berbagai macam literatur tafsir tersebut sudah tentu memiliki banyak perbedaan. Mulai corak, pendekatan, hingga metode penafsiran yang dipakai sang penafsir pun beragam.
Keberagaman karya tafsir di satu sisi sungguh membanggakan. Karena, dibanding kitab suci lainnya, hanya Quran-lah yang paling banyak ditafsiri. Meski demikian, kondisi ini juga memprihatinkan. Pasalnya, di antara sejumlah karya tafsir tersebut di(ter)sisipkan kepentingan penafsir. Mulai kepentingan ideologis, ekonomis, politis, saintis, hingga is-is yang lain.
Secara metodologis, penafsiran Al-Quran dapat dilakukan melalui dua pendekatan: tekstual dan kontekstual. Ada juga yang menambahkan semi-tekstual. Namun dua pendekatan yang pertama dinilai Imam al-Dzahabi (1915-1977 M) terperosok di jurang kesalahan metodis. Jika aliran tekstualis jatuh pada penghambaan mutlak atas teks, maka aliran kontekstualis jatuh pada pendewaan konteks yang acapkali menyeret teks atas nama kontekstualitas zaman. (hlm. 1-2)
Buku bertajuk “Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir” ini hendak mendedahkan betapa luas dan rigit-nya dunia penafsiran Al-Quran. Tak melulu penafsiran, namun juga kritik atas penafsiran itu sendiri. Membaca buku ini membuat pembaca mengernyitkan dahi. Bukan karena ide baru yang diperkenalkan penulisnya, namun lebih karena luasnya ilmu Allah SWT. Ya, buku ini mengantarkan kita untuk menyelam di lautan kritik tafsir.
Kritik Tafsir Infiltratif
Universalitas dan komprehensivitas Al-Quran, ketika didekati dan ditafsiri berdasarkan kepentingan subjektif mufasir, tentu akan tercerabut makna aslinya. Pada titik tertentu, pesan yang ingin disampaikan bukan tak mungkin akan hilang. Kekhawatiran akan tercerabutnya universalitas dan komprehensifitas Al-Quran ini, coba dijawab Abd al-Wahhab Fayed (1936-1999), intelektual jebolan Universitas Al-Azhar Kairo, melalui metode kritik tafsir infiltratif (al-dakhil)-nya.
Sejarah mencatat, potensi al-dakhil telah muncul sejak sebelum Islam datang. Di jazirah Arab waktu itu sudah dikuasai sekelompok Ahli Kitab berbangsa Yahudi. Mereka hijrah dan masuk jazirah Arab pada tahun 70-an Masehi. Mereka ingin membuktikan ramalan tentang diutusnya nabi akhir zaman sebagai penerus Musa a.s. yang akan mengembalikan mereka ke Tanah Suci sebagaimana dijanjikan Tuhan (hlm. 114). Begitu Nabi Muhammad datang, mereka pun masuk Islam. Antara lain Ka’b ibn Maati’ al-Humyariy al-Akhbar (w. 32 H/653 M), Abdullah ibn Salam (w. 43 H/630 M), Tamim al-Daariy (w. 40 H/660 M). Mereka lalu menjadi rujukan para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran terkait kisah umat terdahulu (hlm. 115).
Dari interaksi dan diskusi para sahabat dengan para Ahli Kitab inilah lalu lahir cerita-cerita israiliyat. Imam Ibnu Jarir Al-Thabari, misalnya, dalam Tafsirnya banyak memunculkan kisah israiliyat. Belum lagi ulama yang lain. Mereka berani mengimpor informasi dari luar untuk membantu menjelaskan sesuatu yang tidak seluruhnya ingin dijelaskan dalam tafsirnya. Jika ini tak dilakukan, pembaca tentu tak akan tahu siapa saja nama pemuda yang tertidur ratusan tahun di gua Kahfi (Ashabu al-Kahfi) tanpa merujuk kepada kisah israiliyat.
Nah, cerita israiliyat ini merupakan bentuk al-dakhil paling awal sebelum yang lain. Benih-benih al-dakhil ini kemudian makin berkembang pada masa sahabat hingga tabi’in (pengikut sahabat), tabi’it tabi’in (pengikut tabiin), terutama pada masa Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (750-1258 M) ketika terjadi penumbuhsuburan kebudayaan, tradisi penterjemahan, dan diskusi ilmiah (hlm 118).
Persoalan kemudian, tawaran metode kritis Fayed ini masih menyisa tanya, terutama pada sistematika dan struktur metodisnya. Karena itu, penulis buku ini tertarik untuk meneliti, menyelami, sekaligus menghirup aroma kritis Fayed itu melalui proses rekonstruksi dan restrukturisasi metodik dengan pisau analisis dan pendekatan ilmu-ilmu kontemporer, terutama teori kritik hadis, kritik sastra dan hermeneutika objektif.
Menurut M. Ulinnuha Husnan, sang penulis buku, secara umum buku ini berisi tentang metode kritik tafsir infiltratif (al-dakhil) gagasan Fayed dan proses rekonstruksinya. Hasil rekonstruksi dan restrukturisasi metode kritik tafsir infiltratif tersebut melahirkan bangunan baru metodologi kritik tafsir yang ia sebut sebagai “metode kritik evaluatif-rekonstruktif.” (hlm. iv)
Secara operasional, tulis Ulin, metode baru ini terdiri dari dua wilayah kajian kritis. Pertama, ekstrinsik. Kajian ekstrinsik diorientasikan pada studi kritik personalitas mufasir dengan mengkaji aspek motivasi, ideologi, kompetensi, dan karakter mufasir. Kedua, intrinsik. Untuk kajian intrinsik, diarahkan pada analisis kritis terhadap metodologi dan produk (content) tafsir Al-Quran. Jika kritik metodologis dianalisis melalui dua aspek (teknis dan hermeneutik), maka kritik content tafsir melalui tiga aspek (kualitas, orisinalitas, dan universalitas tafsir).
Penelitian ini berangkat dari beberapa temuan adanya inhirafat (penyelewengan) yang kalau dibiarkan akan berimplikasi kepada pemaknaan kitab suci itu sendiri. Sebab, Al-Quran berbeda sekali dengan Tafsir. Al-Quran itu universal yang melampaui ruang dan waktu. Sementara Tafsir itu nisbi belaka. Meski nisbi, tetap saja ia harus memiliki parameter untuk mengukur kenisbian itu agar tidak menembus batas.
Pada titik ini, Ulinnuha Husnan memandang pentingnya metodologi tafsir untuk mengetahui makna Al-Quran sebagaimana pentingnya metodologi kritik tafsir. Di antara metodologi kritik yang berhasil ia identifikasi, baik yag berkembang di Barat maupun Timur (Islam), antara lain metode kritik sejarah, kritik sastra, hermeneutika, kritik al-inhiraf, dan kritik al-dakhil.
Buku yang ada di pangkuan pembaca ini merupakan direstasi M. Ulinnuha Husnan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena memang hasil riset doktoral, buku ini tampil sangat akademis. Hampir di setiap halaman muncul catatan kaki yang jika ditulis terpisah akan menjadi buku tersendiri. Pada 30 halaman pertama saja, hanya tersisa tiga halaman tanpa catatan kaki. Belum lagi pada bab-bab berikutnya.
Penulis buku ini mengakui kelemahan karyanya tersebut. Sebab, masih take for granted dari disertasinya sendiri dengan editan minimalis. Tak ayal, ketebalannya juga cukup lumayan untuk sebuah buku akademik populer. Sang penulis, yang cukup produktif dalam melahirkan karya di berbagai media itu berencana merevisi buku terbarunya ini agar lebih simpel dan populer, dengan tanpa mengurangi informasi dan bobot akademisnya.
Melihat kayanya informasi di buku ini, tak berlebihan jika Direktur Eksekutif Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Mukhlis M Hanafi menyebut buku ini sebagai karya pertama dalam bidang kajian Al-Quran. Dalam disiplin ilmu hadis, sudah sejak lama dikenal metode kritik sanad dan matan. Sementara, dalam tafsir belum dikenal tradisi dan metode yang sama. Karena itu, bagi civitas akademika dan pencinta Al-Quran, lahirnya buku ini sangat diapresiasi sebagai jangkar sekaligus landasan pacu metodologi kritik tafsir. Selamat membaca! (*)
_______
* Diresensi oleh A. Musthofa Asrori dandalam versinya yang lain pernah dimuat pada Majalah GATRA, No. 35 Tahun XXI, 2-8 Juli 2015, hlm. 59