TAHFIZH AL QUR’AN DI PESANTREN TRADISIONAL

Oleh: Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA.

Makalah ini disampaikan pada acara “Workshop Metodologi Tahfizhul Qur’an” yang diadakan oleh Divisi Tahfizh dalam rangka Penguatan Program Unggulan di IIQ Jakarta. Kerjasama IIQ dengan Depag Tahun Anggaran 2008-2009 pada hari Rabu, 18 Februari 2009 di Kampus IIQ Jakarta.

Pendahuluan

Tahfizh Al-Qur’an adalah kegiatan menghapalkan Al-Qur’an yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kegiatan Tahfizh merupakan bagian dari agenda umat islam yang telah berlangsung secara turun temurun semenjak Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad sampai saat ini dan sampai waktu yang akan datang nanti. Fenomena menghapal kitab suci agama samawi dalam hal ini Al-Qur’an adalah salah satu ciri khas yang dimiliki umat islam dan tidak dimiliki oleh umat lainnya. Adalah satu keistemaan Al Qur’an dimana Al-Qur’an mudah dihapalkan oleh semua kalangan, baik orang arab sendiri maupun orang yang non arab yang sama sekali tidak mengerti arti kata kata yang ada dalam Al-Qur’an. Bahkan bisa dihapalkan oleh anak kecil yang umurnya kurang dari 10 tahun.

Devinisi Tahfizh

Tahfizh adalah kata bentukan atau masdar dari kata Haffazha-Yuhaffizhu-Tahfizhan artinya menghapalkan atau menjadikan orang lain menjadi hapal. Sama seperti ungkapan : ‘Allama –Yu’allimu-Ta’liiman, artinya mengajarkan kepada orang lain tentang sesuatu hal sehingga orang lain menjadi tahu. Kata “Hifzhul Qur’an” berarti menghapal Al-Qur’an atau menjaganya. Kata dasarnya adalah (Ha’-Fa’-Zha) yang artinya berkisar kepada : memperhatikan sesuatu, menjaganya, sehingga tidak lupa dan tidak hilang. Ibn Faris dalam kitabnya “Mu’jam Maqayis al-Lughah berkata :

مقاييس اللغة – (ج 2 / ص 70)

(حفظ) الحاء والفاء والظاء أصلٌ واحد يدلُّ على مراعاةِ الشيء. يقال حَفِظْتُ الشيءَ حِفْظاً. والغَضَبُ: الحفيظة؛ وذلك أنّ تلك الحالَ تدعو إلى مراعاة الشيء. يقال للغَضَب الإحفاظ؛ يقال أحفَظَنِي أي أغضَبَني. والتحفظ: قلّة الغَفلة. والحِفاظ: المحافَظة على الأمور.

Sementara al-Azhari dalam kitabnya “Tahdzib al-lughah” mengatakan:

قال الليث: : الحِفْظ: نقيض النسيان، وهو التَّعاهد وقلة الغفلة. والحفيظ: الموكل بالشئ يحفظه، يقال: فلانٌ حفيظنا عليكم وحافظنا.( تهذيب اللغة – (ج 2 / ص 85)

Bahwa kata “Hifzh” adalah lawan dari lupa, selalu memerhatikan. Kata “al-Hafiizh” adalah orang yang diserahi satu hal agar menjaganya. Salah satu Nama Allah adalah “al-Hafiizh” yang artinya Yang selalu menjaga langit, bumi seisinya. Tidak pernah lalai atau lupa. Dengan demikian siklus perjalanan planet bisa berjalan dengan baik, tidak bertabrakan antara satu dengan lainnya. Lauh Mahfuzh arti asalnya adalah papan (yang digunakan untuk menulis) yang dijaga. Jika dikatakan :

( رجل حافظ وقوم حفاظ وهم الذين رزقوا حفظ ما سمعوا وقلما ينسون شيئا يعونه ) artinya : seorang atau kaum yang penghapal, mereka dianugerahi hapalan yang kuat, jarang sekali lupa apa yang telah mereka hapalkan. .والمحافظة: المواظبة على الأمر. Kata “al-Muhafazhah” artinya menjaga sesuatu secara terus menerus. قال الله جل وعز: )حافظوا على الصَّلوات( أي واظبوا على إقامتها في مواقيتها. ويقال: حافظ على الأمر والعمل وثابر عليه بمعنى وحارض وبارك إذا داوم عليه.. menjaga salat berarti teus menerus melaksanakan salat pada waktunya masing masing.

Dilihat dari pengertian diatas bisa dikatakan bahwa “Hifzhul Qur’an” adalah usaha seseorang untuk menjaga, memperhatikan, Al-Qur’an dengan menghapalkannya agar supaya tidak hilang dari ingatan dengan cara selalu membacanya, menjaga hapalannya secara terus menerus agar supaya tidak lupa atau hilang dari ingatan. Tahfizh Al-Qur’an adalah usaha menjadikan orang lain menjadi hapal Al-Qur’an. guru mengaji yang menerima setoran anak anak yang menghapal Al-Qur’an dinamakan “Muhaffizhul Qur’an”. di Mesir orang tersebut dijuluki “al-Faqi” asalnya al-Faqih, kemudian ya’nya dibuang.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh para penghapal Al-Qur’an adalah bahwa hapalan seseorang mudah hilang dari ingatan jika orang tersebut tidak membacanya secara berulang ulang dengan hapalan. Hal ini berbeda dengan ilmu ilmu lainnya. Nabi pernah mengingatkan kepada para penghapal Al-Qur’an agar supaya memerhatikan dan menjaga hapalannya, sebab Al-Qur’an itu sangat mudah hilang dari ingatan jika tidak diperhatikan dan dijaga. Nabi berkata :

صحيح مسلم – (ج 1 / ص 544)

عن عبدالله قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بئسما لأحدهم يقول نسيت آية كيت وكيت بل هو نسى استذكروا القرآن فلهو أشد تفصيا من صدور الرجال من النعم بعقلها .

(artinya : Nabi berkata : jelek sekali jika seseorang berkata : aku lupa ayat ini dan ayat itu. dia (sebenarnya) dia dilupakan. Bersungguh sungguhlah mengingat Al-Qur’an, sungguh Al-Qur’an itu lebih gampang lepas dari ingatan sesorang daripada unta yang ada di kandangnya).

Dari ungkapan Nabi diatas Nabi mengingatkan kepada para penghapal Al-Qur’an selalu membaca Al-Qur’an dari waktu ke waktu agar hapalannya tidak cepat hilang. Digambarkan dalam hadis tersebut bahwa jika pemilik unta tidak selalu menengok unta yang ada di dalam kandangnya, unta tersebut akan cepat keluar dan mencari makanan sendiri.

صحيح البخاري – (ج 4 / ص 1921)

حدثنا محمد بن العلاء حدثنا أبو أسامة عن بريد عن أبي بردة عن أبي موسى عن النبي صلى الله عليه و سلم قال

: ( تعاهدوا القرآن فوالذي نفسي بيده لهو أشد تفصيا من الإبل من عقلها )

صحيح البخاري – (ج 4 / ص 1920)

حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال

: ( إنما مثل صاحب القرآن كمثل صاحب الإبل المعلقة إن عاهد عليها أمسكها وإن أطلقها ذهبت )

Ada salah satu hikmah dibalik itu ialah agar para penghapal Al-Qur’an sangat memerhatikan Al-Qur’an dengan selalu membacanya setiap waktu.

Praktek Menghapal Al-Qur’an di Pesantren

Di pesantren yang khusus menghapalkan Al-Qur’an ada semacam kesamaan tentang cara menghapalkan Al-Qur’an. Diantara hal yang dilakukan oleh para santri dalam proses menghapalkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

1. Mushaf

Biasanya mushaf yang di gunakan oleh para santri untuk menghapalkan Al-Qur’an adalah mushaf terbitan “Menara Kudus”. Mushaf ini pada awalnya adalah Mushaf yang ditulis oleh orang Turki. Lalu mushafnya disebut dengan mushaf “Bahriyyah”, karena diterbitkan oleh percetakan “Bahriyyah” di Turki. Percetakan “Menara Kudus” mengkopi mushaf ini lalu menerbitkannya sendiri. Mushaf ini dinamakan juga mushaf “Ayat Pojok” dimana setiap pojoknya merupakan akhir ayat. Mushaf yang demikian ini juga dinamakan “Mushaf Lil Huffazh” atau mushaf untuk para penghapal Al-Qur’an. Mushaf pojok seperti “Mushaf Bahriyyah” ini juga digunakan oleh mushaf terbitan “Mujamma’Malik Fahd ” di Madinah. Hanya saja kalau mushaf Madinah ditulis dengan Rasm Usmani oleh Usman Thaha, sementara Mushaf Bahriyyah menggunakan Rasm campuran. Ada Usmani dan ada Imla’inya.

Mushaf ayat pojok sendiri ada berbagai macam. Karakteristik dari mushaf “bahriyyah” ini adalah sebagai berikut :

1. Terdiri dari 300 lembar atau 600 halaman. Setiap Juz berisi 10 lembar atau 20 halaman. Setiap halaman berisi 15 baris. Setiap baris terdiri sekitar 7-8 kosa kata.

2. Pada juz pertama, surah al-Fatihah dan awal surah al-Baqarah sampai ayat 5 ditulis di dua halaman berturut turut. Surah Al-Fatihah di dalaman sebelah kanan, sementara awal al-Baqarah disebelah kiri. Kemudian pada halaman baru sebelah kanan dimulai dengan ayat ke 6. Halaman berikutnya sebelah kiri dimulai dari ayat ke 17, lalu di awal halaman kanan berikutnya adalah ayat 25 terus 30-38-49-58-62-70-77-84-89-94-102-106-113-120-127-135. Ayat terakhir pada juz 1 adalah ayat 141. Ada mushaf ayat pojok yang tidak demikian.

Keistimewaan menggunakan mushaf ayat pojok adalah agar gampang diingat pada saat menghapalkan, apakah bacaannya itu sebelah kiri atau sebelah kanan. Pada baris atas atau tengah atau bawah. Kemudian jika seorang menghapalkan, dia bisa menghapalkan perpojok atau perhalaman.

Namun kelemahannya adalah bahwa tidak setiap pojok adalah tempat yang bagus untuk waqaf. Sehingga jika santri berhenti pada setiap pojok, misalnya untuk membaca di salat tarawih, ada tempat tempat yang tidak baik untuk waqaf.

2. Materi Hapalan

Santri baru yang akan mengahapalkan mulai menghapalkan dari juz ‘Amma dimulai dari surah an-Nas-al-Falaq-al-Ikhlash-al-Lahab dan seterusnya mundur kebelakang. Jika santri tersebut masih awal sekali dalam mengaji, maka santri disuruh mangaji bin-Nazhor (melihat mushaf) terlebih dahulu. Jika sudah lancar, bisa langsung menghapalkan. Ada sebagian guru yang mengetes bacaan santrinya terlebih dahulu. Jika santri bisa membaca bin-nazhor dengan lancar, maka dia bisa langsung menghapalkan.

Kemudian santri disuruh menghapalkan surah surah pilihan yang terdiri dari surah : al-Mulk, Yasin, ad-Dukhan, as-Sajdah, al-Insan, al-waqi’ah, al-Kahf, al-Jum’ah, al-Munafiqun. Maksudnya adalah jika santri tidak bisa melanjutkan menghapalkan Al-Qur’an, maka hapalan tesebut bisa dijadikan modal untuk menjadi imam di kampungnya masing masing. Selanjutnya dia bisa memulai menghapalkan Al-Qur’an dimulai dari surah al-Baqarah dan seterusnya. Ada juga yang melanjutkannya dari juz 29 terus juz 28 dan seterusnya dengan mundur ke belakang. Ada falsafah dibalik metode ini yaitu bahwa surah surah akhir kebanyakan surah surah Makkiyyah yang dari segi redaksi agak sulit di hapalkan. Jika yang sulit sudah diselesaikan maka untuk menghapalkan surah surah Madaniyah lebih gampang lagi.

3. Cara Menghapalkan

Banyak cara menghapalkan Al-Qur’an. di negeri negeri Afrika umpamanya, terutama Afrika Utara, seperti di al-Jazair, Mauritania, Marokko dan lain lainnya, masih banyak anak anak yang disuruh oleh gurunya menuliskan ayat ayat Al-Qur’an di papan dengan pensil. Lalu tulisan tesebut di periksa oleh guru. Jika tulisannya sudah benar, dia disuruh membacanya. Jika bacaannya sudah benar, baru disuruh menghapalkannya. Jika sudah hapal betul, tulisan tersebut dihapus dengan menggunakan batu apung dengan air. Air yang digunakan untuk menghapus tulisan Al-Qur’an dalam “lauh”sisanya dibuang ditempat yang suci. Dan begitu seterusnya. Cara yang demikian ini bisa menyebabkan anak bisa menulis Al-Qur’an dengan baik dan benar. Lama kelamaan tulisannya tambah bagus. Tulisan tangan sendiri akan dengan mudah dihapalkan.

Sementara cara menghapalkan di pesantren pesantren di Jawa khususnya adalah sebagai berikut :

Pertama : menghapalkan ayat demi ayat. Dengan membacanya secara tartil dan bersuara walaupun lirih. Jika ayat yang pertama sudah dihapal dengan baik dan benar, baru menghapalkan ayat berikutnya. Lalu ayat pertama digabung dengan ayat kedua. Kemudian pindah ke ayat ketiga. Jika sudah hapal, maka ayat kedua dan ketiga dihapalkan. Jika sudah bagus, maka ayat pertama, kedua dan ketiga dibaca dengan hapalan sekaligus. Dan begitu seterusnya. Jika ayatnya panjang, bisa dipotong beberapa bagian. Setiap bagian dihapalkan sampai hapal betul. Lalu menghapalkan potongan berikutnya sampai satu ayat secara sempurna.

Kedua : mengaitkan akhir ayat dengan awal ayat berikutnya. Sebagian Kiai memberikan metode hapalan sebagai berikut : pada saat menghapalkan satu ayat, jangan berhenti pada akhir ayat, tapi lanjutkan pada awal ayat berikutnya. Maksudnya adalah proses menghapalkan ayat di sekaligus kan dengan proses menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya. Karena menghapalkan satu ayat memerlukan pekerjaan sendiri, sementara menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya adalah satu pekerjaan sendiri. Dengan cara menyambung awal ayat diatas, santri sudah tidak memerlukan pekerjaan menyambung ayat dengan ayat berikutnya.

Ketiga: santri menyetorkan hapalannya kepada guru sesuai dengan kemampuannya. Adakalanya setengah halaman/hari, ada juga yang lebih dari itu. Pada umumnya santri disuruh mengulang materi setorannya sampai dua kali. Jika masih banyak kesalahan maka guru akan memintanya mengulangi materi hapalan tersebut pada esok harinya sampai betul betul hapal.

Keempat : jika santri sudah sukses menyetorkan lima juz, biasanya guru menyetopnya untuk me nambah hapalan (istilahnya “ngeloh”). Santri tersebut disuruh mengulangi lagi membaca dengan hapalan dari juz pertama sampai juz ke lima (akhir materi hapalan) sampai betul betul hapal. Setelah hapalannya bagus, guru akan mempersilahkan santrinya melanjutkan setoran hapalan pada juz berikutnya.

4. Memelihara Hapalan

Ada beberapa cara agar hapalan santri bisa kuat. Diantara metode yang diterapkan di Pesantren Tahfizh Krapyak (tahun ’73) yang pernah penulis ikuti antara lain adalah sebagai berikut :

Pertama : jam mengaji bagi santri setiap harinya sebanyak tiga kali yaitu sehabis subuh, jam 10 siang dan sehabis magrib. Jam 10 siang hanya khusus untuk “nderes” saja yaitu mengulang-ulangi hapalan yang telah dihapalkan atau menghapalkan materi baru. Sementara untuk waktu magrib dan subuh, antri bisa memilih sendiri, mana yang untuk menambah hapalan dan mana yang untuk “nderes”. Yang jelas waktu untuk menambah hapalan hanya satu kali dalam satu hari.

Kedua : setiap pagi jum’at semua santri selepas subuh harus duduk bersama untuk mengadakan “sema’an” yaitu membaca secara tartil apa yang telah dihapalkannya secara bergantian. Setiap santri membaca 1 halaman, sampai waktu Dluha.

Ketiga : pada setiap pertengahan tahun ada tes hapalan dengan mentasmi’ hapalannya dihadapan kiai/guru secara bergantian, atau mengadakan tasmi’ sendiri secara bergantian sampai khatam.

Keempat : setiap bulan Ramadlan, santri diharuskan membikin kelompok salat tarawih sendiri. Semuanya harus tampil menjadi imam secara bergiliran. Setiap raka’at satu halaman. Cara seperti ini pernah penulis melihat sendiri di Madinah, dimana banyak anak anak yang membikin tarawih sendiri sendiri. Setiap kelompok terdiri dari dua orang yaitu imam dan makmum. Yang jadi makmum mensima’ bacaan imamnya. Lalu bergantian. Yang tadinya jadi imam menjadi makmum.

Kelima: jika santri telah berhasil menyetorkan hapalannya sampai khatam, dia diharuskan memulai “nderes” dari awal lagi secara tartil bahkan seperti “tahqiq” agar hapalannya beul betul kuat. Sampai khatam.

Keenam: jika marhalah ini sudah dilewati, sebelum di wisuda, di sebahagian pesantren, santri diminta untuk membaca Al-Qur’an satu kali khataman setiap hari sampai 40 hari berturut turut. Inilah masa yang paling menentukan dalam kehidupan santri penghapal AlQur’an.

Di sebahagian pesantren Tahfizh di Jawa ada yang mempunyai cara yang lain dalam hal penerimaan santri yang akan menghapalkan Al-Qur’an. ada yang men-tes terlebih dahulu calon santri yaitu dengan memberikan PR berupa menghapalkan beberapa ayat yang sudah ditentukan. Jika pada saat menyetorkan hapalan tersebut santri bisa menghapalkannya dengan baik, maka santri tersebut dinyatakan lulus dan bisa melanjutkan sebagai santri penghapal Al-Qur’an.

Dalam hal evaluasi juga ada yang menghitung kesalahan hapalan pada saat santri mengikuti ujian semester yang diadakan setiap setengah tahun. Jika dalam satu juz santri tidak bisa melanjutkan bacaannya sebanyak 5 kali (misalnya, tergantung dari aturan), maka santri tersebut dinyatakan tidak lulus pada semester yang sedang berlangsung. Dia harus mengulangi lagi hapalan pada yang telah dihapalkannya sampai betul betul bagus hapalannya. Dia tidak diperbolehkan menambah hapalannya.

5. Masa Menghafal

Masa menghapal Al-Qur’an berbeda antara satu santri dengan lainnya tergantung dari kecerdasan (IQ nya) masing masing dan ketekunannya dalam menghapal. Pada umumya selama 3 tahun. Ada juga yang kurang dari itu. Bisa digambarkan, jika setiap hari seorang santri mampu menghapalkan satu halaman, berarti dalam 1 tahun dia bisa menghapalkan 365 halaman. Dikurangi hari hari libur dalam setahun menjadi sekitar 360 halaman. Jika dalam 1 mushaf terdiri dari 600 halaman, maka santri baru khatam Al-Qur’an selama sekitar 2 tahun. Tahun ketiga digunakan untuk “nderes” dan “tartilan”. Namun jika santri pada waktu khatam setoran sudah bisa “tartil” sendiri berarti dia bisa menghatamkan Al-Qur’an selama dua tahun saja.

Dengan cara lain, Jika setiap hari santri mampu menghapal satu baris, maka dia baru hapal Al-Qur’an setelah 9000 hari, karena mushaf pojok berisi 15 baris pada setiap halamannya. Dalam satu lembar (2 halaman) terdapat 30 baris x 300 lembar = 9000 lembar. Berarti 9000 hari=24 tahun !!!.

6. Do’a Menghafal Al-Qur’an

Sebagian santri dalam rangka mempercepat proses menghapal Al-Qur’an melakukan hal hal riual seperti puasa terus menerus, atau berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini baik baik saja. Tapi jika dengan puasa dia tidak efektif dalam menghapal Al-Qur’an, maka lebih bagus tidak melakukan hal tersebut.

Ada juga yang mengamalkan doa doa agar bisa mudah menghapalkan Al-Qur’an. tapi bagaimanapun juga kesungguhan seseorang dalam menghapal Al-Qur’an secara “istiqamah” adalah kunci keberhasilan pertama. Adapun cara cara spiritual sebagamana diatas adalah sebagai penunjang saja.

Disebutkan dalam satu Hadis bahwa sahabat Ali mengadu kepada Nabi bahwa dia sulit untuk menghapalkan Al-Qur’an. lalu Nabi menganjurkan kepadanya agar melakukan salat di malam jum’at. Pada raka’at pertama setelah membaca Al-Fatihah membaca surah Yasin. Pada rakaat kedua membaca surah ad-Dukhan. Pada raka’at ketiga membaca surah as-Sajdah. Pada raka’at keempat membaca surah “Tabarak”(al-Mulk)” Nabi menyuruhnya melakukan hal tersebut selama tiga kali jum’atan atau lima kali, kemudian disuruhnya membaca Doa dibawah ini (dalam kurung) :

سنن الترمذى – (ج 13 / ص 111)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ وَعِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ جَاءَهُ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فَقَالَ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى تَفَلَّتَ هَذَا الْقُرْآنُ مِنْ صَدْرِى فَمَا أَجِدُنِى أَقْدِرُ عَلَيْهِ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا أَبَا الْحَسَنِ أَفَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِنَّ وَيَنْفَعُ بِهِنَّ مَنْ عَلَّمْتَهُ وَيُثَبِّتُ مَا تَعَلَّمْتَ فِى صَدْرِكَ ». قَالَ أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَعَلِّمْنِى.

قَالَ « إِذَا كَانَ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَقُومَ فِى ثُلُثِ اللَّيْلِ الآخِرِ فَإِنَّهَا سَاعَةٌ مَشْهُودَةٌ وَالدُّعَاءُ فِيهَا مُسْتَجَابٌ وَقَدْ قَالَ أَخِى يَعْقُوبُ لِبَنِيهِ (سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّى) يَقُولُ حَتَّى تَأْتِىَ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُمْ فِى وَسَطِهَا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُمْ فِى أَوَّلِهَا فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةِ يس َفِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَ( حم) الدُّخَانَ وَفِى الرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالم َنْزِيلُ السَّجْدَةَ وَفِى الرَّكْعَةِ الرَّابِعَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَتَبَارَكَ الْمُفَصَّلَ فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ التَّشَهُّدِ فَاحْمَدِ اللَّهَ وَأَحْسِنِ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ وَصَلِّ عَلَىَّ وَأَحْسِنْ وَعَلَى سَائِرِ النَّبِيِّينَ وَاسْتَغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلإِخْوَانِكَ الَّذِينَ سَبَقُوكَ بِالإِيمَانِ ثُمَّ قُلْ فِى آخِرِ ذَلِكَ

( اللَّهُمَّ ارْحَمْنِى بِتَرْكِ الْمَعَاصِى أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِى وَارْحَمْنِى أَنْ أَتَكَلَّفَ مَا لاَ يَعْنِينِى وَارْزُقْنِى حُسْنَ النَّظَرِ فِيمَا يُرْضِيكَ عَنِّى اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ وَالْعِزَّةِ الَّتِى لاَ تُرَامُ أَسْأَلُكَ يَا اللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلاَلِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُلْزِمَ قَلْبِى حِفْظَ كِتَابِكَ كَمَا عَلَّمْتَنِى وَارْزُقْنِى أَنْ أَتْلُوَهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِى يُرْضِيكَ عَنِّى اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ وَالْعِزَّةِ الَّتِى لاَ تُرَامُ أَسْأَلُكَ يَا اللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلاَلِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُنَوِّرَ بِكِتَابِكَ بَصَرِى وَأَنْ تُطْلِقَ بِهِ لِسَانِى وَأَنْ تُفَرِّجَ بِهِ عَنْ قَلْبِى وَأَنْ ِم-َعقطشىَشْرَحَ بِهِ صَدْرِى وَأَنْ تَغْسِلَ بِهِ بَدَنِى لأَنَّهُ لاَ يُعِينُنِى عَلَى الْحَقِّ غَيْرُكَ وَلاَ يُؤْتِيهِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِىِّ الْعَظِيمِ)

يَا أَبَا الْحَسَنِ تَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ أَوْ خَمْسَ أَوْ سَبْعَ تُجَابُ بِإِذْنِ اللَّهِ وَالَّذِى بَعَثَنِى بِالْحَقِّ مَا أَخْطَأَ مُؤْمِنًا قَطُّ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ فَوَاللَّهِ مَا لَبِثَ عَلِىٌّ إِلاَّ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا حَتَّى جَاءَ عَلِىٌّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مِثْلِ ذَلِكَ الْمَجْلِسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى كُنْتُ فِيمَا خَلاَ لاَ آخُذُ إِلاَّ أَرْبَعَ آيَاتٍ أَوْ نَحْوَهُنَّ وَإِذَا قَرَأْتُهُنَّ عَلَى نَفْسِى تَفَلَّتْنَ وَأَنَا أَتَعَلَّمُ الْيَوْمَ أَرْبَعِينَ آيَةً أَوْ نَحْوَهَا وَإِذَا قَرَأْتُهَا عَلَى نَفْسِى فَكَأَنَّمَا كِتَابُ اللَّهِ بَيْنَ عَيْنَىَّ وَلَقَدْ كُنْتُ أَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَإِذَا رَدَّدْتُهُ تَفَلَّتَ وَأَنَا الْيَوْمَ أَسْمَعُ الأَحَادِيثَ فَإِذَا تَحَدَّثْتُ بِهَا لَمْ أَخْرِمْ مِنْهَا حَرْفًا. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِنْدَ ذَلِكَ « مُؤْمِنٌ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ يَا أَبَا الْحَسَنِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لاَ نَعْرِفُهُ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ الْوَلِيدِ بْنِ مُسْلِمٍ.

7. Kegiatan Setelah Khatam (Hapal) Al-Qur’an

Setelah santri hapal Al-Qur’an, dia dihimbau untuk terus membaca Al-Qur’an dengan hapalan secara periodik. Apakah setiap seminggu sekali khatam. Atau setiap dua minggu sekali khatam.atau setiap bulan sekali khatam. Semuanya tergantung situasi dan kondisi. Cara lain agar supaya hapalannya tetap melekat adalah menjadikan hapalannya sebagai bacaan salat, baik salat fardlu atau salat sunnah, terutama di malam hari. Baik salat sendii atau sebagai imam.

Salah satu cara lagi adalah dengan mendirikan kelompok sema’an di setiap daerah. Mereka berkumpul satu bulan sekali untuk mengadakan “sema’an” di salah satu anggauta kelompok tersebut secara bergiliran.

Penutup

Demikianlah sekilas tentang seluk beluk cara menghapalkan Al-Qur’an di pesantren pesantren yang ada di Jawa sebagaimana apa yang pernah penulis lakukan ketika “nyantri” di Pesantren Krapyak Yogyakarta (“76) al-Mu’ayyad Solo dan Yanbu’ul Qur’an Kudus, dan yang saya amati. Perlu kiranya dilakukan penelitian tentang prosentasi keberhasilan para santri yang menghapalkan Al-Qur’an di Pesantren pesantren Tahfizh Al-Qur’an, agar bisa diketahui faktor penyebab kesuksesan atau ketidak suksesan mereka. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tugu,18 Februari 2009