Reformasi Syariat Birokrasi
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru (1966-1998) ditandai dengan semangat melakukan reformasi. Setelah tuntasnya reformasi personal (tahap pertama) yang dicirikan dengan naiknya para pemain baru di gelanggang politik nasional, reformasi tahap kedua digelar dengan melakukan amandemen UUD 1945. Periode reformasi konstitusional ini kemudian diikuti dengan tahapan berikutnya: reformasi birokrasi.
Unsur pelayanan publik dan penataan kembali aparat pemerintah baik di pusat maupun di daerah guna menjadikan birokrasi lebih efisien dan efektif adalah unsur penting dari reformasi birokrasi. Tersendatnya reformasi pada periode ini bukan saja mempersulit amanat gerakan mahasiswa 1998 untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),tapi juga membuat masyarakat luas tidak merasakan dampak positif gerakan reformasi paska Orde Baru.
Dalam konteks ini menarik dicermati respon sejumlah kelompok Islam untuk turut serta dalam proses reformasi. Mereka memaknai reformasi sebagai cara agar syariat Islam dapat diterapkan di Indonesia. Setelah gagal mendesakkan usulannya untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945dengan memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta, sejumlahelemen di tubuh umat mempromosikan ide penerapan syariat Islam di beberapa daerah.
Bukannya turut serta menggagas dan mengisi program reformasi birokrasi, sesuai prinsip negara hukum dan pemerintahan yang baik,mereka malah asyik mempromosikan syariat versi mereka melalui tangan-tangan birokrasi. Ini yang saya sebut dengan “syariat birokrasi”.
Topik yang diatur mulai dari masalah aturan berpakaian, pembuatan papan nama Arab Melayu, pemberlakuan “jam malam” bagi perempuan sampai dengan diadakannya program baca tulis al-Qur’an bagi calon pengantin. Bentuk perangkat hukum yang digunakan mulai dari Surat Edaran Bupati,Instruksi Walikota, Surat Gubernur sampai dengan Peraturan Daerah(Perda).
Syariat birokrasi semacam ini paling tidak mengandung tiga persoalan. Pertama, syariah Islam direduksi menjadi sekedar masalah kulit semata yang tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Mereka gagal mempromosikan susbtansi ajaran Islam (maqashid al-syariah) dalam konteks pelayanan publik. Bagi masyarakat, syariat Islam dianggap berhasil diterapkan apabila pegawai di kantor bupati melayani publik dengan baik, efektif, efisien dan tidak ada unsur KKN. Bukanlah menjadi soal apakah pegawai tersebut berjilbab dan apakah papan nama kantor bertuliskan huruf Arab Melayu atau tidak.
Contoh lain adalah bagaimana para penggagas penerapan syariat Islam itu memberikan kontribusi pemikiran agar birokrasi kita di daerah lebih ramping dan tepat sasaran serta membenahi sistem penggajian dan insentif yang adil sesuai dengan merit system.
Indikator berikutnya adalah fasilitas publik seperti toilet umum, jalan raya, air bersih, lampu penerangan, angkutan umum, dan gedung sekolah terpelihara dengan baik dan dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat. Ini semua termasuk inti atau substansi dari syariat Islam. Dan celakanya, ini pula yang sulit kita dapati di daerah yang menerapkan atau tidak menerapkan syariat birokrasi. Lalu apa bedanya bagi masyarakat antara menerapkan syariat atau tidak?
Kedua, sebagian topik yang diatur dalam syariat birokrasi sebenarnya sudah kebablasan. Tidak ada aturan fiqh yang mengatur pasangan calon pengantin untuk pandai baca-tulis al-Qur’an. Fiqh juga tidak memberikan sanksi duniawi baik administratif ataupun pidana, bagi perempuan yang tidak menutup rambutnya. Kalaupun pemakaian jilbab dianggap kewajiban syar’i, maka ini merupakan urusan individu dengan sang Khalik. Syariat birokrasi telah mencampur adukkan mana yang tuntunan moral, mana yang berupa anjuran dan mana yang berupa kewajiban agama.
Ketiga, syariat birokrasi di sejumlah dareah juga tidak memenuhi paradigma birokrasi modern: catalytic government dan community-owned government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1993). Birokrasi pemerintahan seharusnya lebih berfungsi sebagai katalis, yang melepaskan bidang-bidang yang seharusnya dapat dikerjakan sendiri oleh masyarakat. Masalah berpakaian dan kemampuan memahami huruf Arab sejatinya merupakan urusan masyarakat bukan urusan birokrasi. Birokrasi seharusnya memberdayakan masyarakat agar tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah. Yang kita saksikan beban birokrasi kita malah menjadi semakin bertambah.
Kegairahan sejumlah daerah menerapkan syariat birokrasi justru dapat menjadi bumerang ketika masyarakat lambat laun akan menyadari bahwa hidup mereka tidak berubah menjadi lebih baik. Reformasi bukan sekedar mengubah aturan. Menurut Justice Kirby, reform is a change for thebetter.
Kita pantas untuk khawatir kalau syariat birokrasi ini dapat melalaikan kita untuk fokus pada tahapan reformasi yang amat mendesak kita lakukan saat ini: reformasi birokrasi!
*) Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Australia-Selandia Baru, dan peraihdua gelar PhD dari National University of Singapore dan University of Wollongong.