REFLEKSI PEMBAHARUAN DALAM PEMIKIRAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh: Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA.

Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Makalah ini disampaikan pada acara Semisar Tajdid Pemikiran Islam dengan Tema: “Pengekalan Alam Melayu Sebagai Rantai Ahlussunnah Wal Jama’h,” yang diadakan oleh Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia (YADMI), dari hari Kamis-Sabtu, 19-21 Februari 2009 di Hotel Pan Pasifific, KLIA, Malaysia.

 

Pendahuluan

Pembahasan tentang Ahlussunnah wal Jama’ah akan selalu tetap menarik karena pembahasan ini menyangkut dinamika internal kaum muslimin di seluruh dunia terhadap isu isu global yang tengah melanda dunia saat ini. Jika pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan bagian yang cukup besar dari penduduk dunia, maka sikap mereka terhadap isu isu sentral yang melanda dunia saat ini sangat ditunggu oleh banyak pihak, baik di dalam negeri negara negara islam itu sendiri maupun di luar negeri terutama dari negara barat. Sikap kaum muslimin dari kalangan sunni terhadap isu isu global akan menjadi agenda dan catatan sendiri bagi pihak pihak yang berkompeten untuk menentukan sikap dalam menangani isu isu tersebut. Tulisan dibawah ini akan berusaha menjelaskan tentang Refleksi Pembaharuan Dalam Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Ahli Sunnah antara Sejarah dan Ajaran

Harus dibedakan antara Ahlussunnah sebagai pelaku sejarah masa lalu dan Ahlussunnah sebagai ajaran. Harus dibedakan pula antar islam sebagai ajaran dan islam sebagai sejarah. Atau juga Pembedaan ini sama dengan Islam dan kaum muslimin.

Pada masa Nabi istilah Ahlussunnah wal Jama’ah masih belum muncul. Para sahabat Nabi masih dalam kondisi yang solid dan tidak terpecah dalam kelompok kelompok. Memang banyak kejadian yang dialami para sahabat yang sempat memicu kemarahan Nabi, seperti pada saat sebagian sahabat Nabi meminta bagian dari harta pampasan pada waktu perang Hunain di Thaif. Atau pada saat sahabat Muhajirin dan Ansar terpicu oleh hasutan orang Yahudi dengan mengingatkan mereka akan perang “Bu’ats pada masa Jahiliyah dahulu (Lih: 102 Ali Imran, lih, Aysaruttafasir). Atau pada saat Nabi dicoba oleh tuduhan selingkuhnya Siti Aisyah dengan Shafwan Ibn Mu’aththil yang menyebabkan keruhnya hubungan antara Sahabat Muhajirin dan Anshar dan lain sebagainya. Namun kekeruhan suasana diantara para sahabat bisa diredam dan diselesaikan oleh Nabi. Sepeninggal Nabi terjadi kekisruhan antara sahabat Anshar dan Muhajirin yang terlibat diskusi serius dan panas untuk menetukan siapa pengganti Nabi. Sahabat Umar akhirnya bisa meredam gejolak ini dengan mengangkat tangan Abu Bakar untuk di bai’at sebgai Khalaifah Nabi. Pada saat Sahabat Umar terbunuh juga umat islam masih solid. Barulah pada saat Sahabat Usman terbunuh kekeruhan hubungan antara sahabat Nabi tidak bisa terelakkan lagi. Lalu terjadilah perang “Shiffin” antara Sahabat Ali dan Mu’awiyah. Sahabat Ali juga terlibat perang dengan pasukan Siti Aisyah dalam perang “Jamal” tapi yang terakhir ini tidak sampai memicu kericuhan dalam tubuh umat islam berkelanjutan. Pengikut setia Sahabat Ali yang semula menjadi pengikut yang biasa saja akhirnya ada yang berlaku berlebihan dalam memandang sahabat Ali. Dari sinilah muncul kelompok baru yang bernama “Syi’ah”. Kelompok ini tidak lepas dari perpecahan diantara mereka sendiri. Ada kelompok “Imamiyah”yang terpecah menjadi beberapa kelompok lagi. Muncul juga kelompok “Zaidiyyah”. Kelompok kelompok ini masih eksis hingga saat ini dengan segala ajarannya.

Pada masa Sahabat Ali muncul kelompok baru yaitu kelompok “Khawarij” yang menyempal dari kepemimpinan Sahabat Ali maupun Mu’awiyah setelah peperangan di “Nahrawain” yang terkenal itu. kelompok ini dikenal keras dalam akidah dan tidak pernah melunak. Mereka berani mengkafirkan sahabat, mengkafirkan orang yang redosa besar, mewajibkan berontak kepada penguasa yang lalim dan lain sebagainya. Kelompok ini juga terpecah dalam beberapa kelompok sempalan. Kelompok ini masih tersisa hingga saat ini walaupun dalam jumlah yang tidak relevan lagi untuk disebut dalam sebuah komunitas yang diperhitungkan.

Pada awal abad kedua Hijriyah muncul kelompok baru yang bernama “Mu’tazilah” yang menyempal dari majlis “Hasan Al-Basri” (w 110 h) dan mempunyai pijakan berfikirnya sendiri seperti lima pilar yang terkenal yaitu : Ketauhidan, Keadilan, Manzilah baina Manzilatain, Janji dan ancaman Allah, dan Amar Ma’ruf- Nahi Munkar. Kelompok ini pernah mendapatkan dukungan politis dari penguasa Abbasiyyah, terutama pada permulaan abad ke 3 hijriyah yaitu pada masa Khalifah “al-Ma’mun”, “al-Mu’tashim billah” dan “al-Watsiq billah” (Lih. Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi: Ahlussunnah wal Jama’ah : Ma’alim al Inthilaqah al-Kubra, hal:57. Dar Thaybah) . Beberapa ulama sunni harus berhadapan dengan ancaman penjara atau cambuk jika tidak mengikuti madzhab Mu’tazilah tentang “Al-Qur’an”. Namun sejalan dengan waktu pamor kelompok Mu’tazilah memudar terutama setelah “Khalifah Mutawakkil ‘Alallah” pada abad ketiga hijriyah. Ternyata masyarakat lebih cenderung kepada ulama Sunni yang menjadi korban dari tindakan semena menanya penguasa “Abbasiyah” pada saat itu. Muncullah Imam Ahmad bin Hambal yang sangat gigih memepertahankan Hadis Nabi sebagai pijakan dalam ajaran islam.

Penguasa setelah masa terutama semenjak Khlaifah “Mutawakkil ‘Alallah” lebih cenderung kepada ajaran yang diemban oleh ulama Sunni yang dipelopori oleh Imam Imam dari Madzhab fikih seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan lain ainnya. Begitu juga apa yang diyakini oleh Ulama Ahli Hadis, seperti Imam Bukhari Muslim, dan penyusun kitab kitab Hadis lainnya. Begitu juga para Ahli Qira’at, kelompok Sufi dan lain sebagainya.

Madzhab Sunni memang pernah tidak muncul ke permukaan pada saat Daulah “Fathimiyyah ” di Mesir. Tapi mayoritas masyarakat sebenarnya masih kental dengan suasana Sunni. Terbukti setelah kekuasan berganti ke pemerintahan “Ayubiyah” , “Mameluk” dan “Usmaniyah” yang berakhir pada pertengahan abad 20 hampir semua pemerintahan tersebut memeluk paham Sunni”.

Pada saat Bani Umayyah menduduki Andalusia sampai beberapa abad lamanya, yang muncul ke pentas sejarah adalah para ulama dari aliran Sunni. Para ahli tafsir, ahli bahasa, ahli filsafat dan lain sebagainya, hampir semuanya beraliran Sunni. Kitab kitab “Thabaqat” baik Thobaqat an-Nuhat, Thabaqat al-Udaba’, Thabaqat al-Athibba’, dan lain lainnya, begitu juga nama terkenal pada kitab “Tarikh Baghdad” karya al-Khathib al-Baghdadi, yang muncul adalah ulama dari Sunni.

Pada saat ini hampir diseluruh negara islam baik di Asia maupun Afrika adalah penganut madzhab Sunni. Sehingga tidak berlebihan bahwa masyarakat islam di seluruh dunia adalah pemeluk Sunni. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Baret disebutkan bahwa jumlah kaum muslimin di seluruh dunia pada tahun 2000 adalah 1.188.000.000 orang. Dari jumlah tersebut 1.002.000.000. atau 84.34 % nya adalah pengikut ahlissunnah wal jama’ah. Sementara 15.65 % nya terdiri dari kelompok lain seperti Syi’ah dan lain lainnya. Bandingkan dengan pengikut Katolik Roma yang berjumlah 1.002.000.000 orang pada tahun 2000. (Lih. Ar.Wikipedia.org:ahlussunnah)

Ahlussunnah Dari Segi Ajaran

Ajaran Ahulussunnah wal Jama’ah adalah ajaran islam yang dijelaskan oleh Nabi dan para sahabatnya, yaitu apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi dan Ijma’ para sahabat. Paham ini terus berkelanjutan hingga saat ini dan diikuti oleh sebagaian besar kaum muslim di dunia. Imam Ibn Hazm dalam kitabnya : “Al-Fashl Bainal Milal wan Nihal” mengatakan :

(قال أبو محمد وأهل السنة الذين نذكرهم أهل الحق ومن عداهم فأهل البدعة فإنهم الصحابة رضي الله عنهم وكل من سلك نهجهم من خيار التابعين رحمه الله عليهم ثم أصحاب الحديث ومن إتبعهم من الفقهاء جيلا فجيلا إلى يومنا هذا أو من اقتدى بهم من العوام في شرق الأرض وغربها رحمة الله عليهم) الفصل في الملل – (ج 2 / ص 90)

(Ahlussunah yang akan kami jelaskan adalah kelompok yang berpijak kepada kebenaran, selain mereka adalah kelompok pelaku Bid’ah. Ahlussunnah adalah para sahabat Nabi dan orang yang mengikuti jejak mereka dari kalangan tabi’in, termasuk didalamnya adalah ahli Hadis, ahli fikih dan seterusnya dari masa ke masa, dari generasi ke generasi penerus sampai saat ini. Begitu juga orang kebanyakan yang mengikuti jejak mereka baik di belahan bumi sebelah timur maupun belahan bumi sebelah barat)

Apa yang dikatakan oleh Ibn Hazm barulah pada sebatas kelompok yang masuk dalam katagori Ahlussunnah. Akan halnya ajaran pokok Ahlussunnah wal Jama’ah dan rinciannya akan berbeda antara satu dengan lainnya. Ibnu Taymiyah misalnya mengatakan bahwa pokok pokok ajaran Ahlussunnah adalah : Mengimani terhadap sifat Allah apa adanya, Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan Makhluk, kaum mukmin bisa melihat Allah di sorga, percaya kepada hari akhir dengan segala kejadiannya, percaya kepada Qadla’ dan Qadar, Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang, mencintai sahabat Nabi, percaya kepada Karamah para wali, dan seterusnya. (Lih. Al-Mishri: Ibid. “).

Sementara “Al-Harbi, Ahmad bin ‘Awadullah” dalam kitabnya “al-Maturidiyah” menjelaskan bahwa pokok ajaran Ahlussunnah dalam hal akidah adalah sebagai berikut : 1. Agama Islam telah sempurna.tidak kurang tidak lebih. 2.Apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis sahih adalah sesuai dan tidak bertentangan dengan Akal. 3.Mempercayai dengan yakin apa yang berasal dari Nabi melalui hadis hadisnya baik yang mutawatir maupun yang Ahad.baik dalam mas’alah akidah maupun syari’ah. 4. Tunduk kepada perintah Allah dan RasulNya. 5.Teks yang terkait dengan sifat sifat Allah adalah sudah jelas, bukan mutasyabih lagi yang tidak diketahui maknanya. 6.menggunakan makna hakiki bukan majazi khususnya dalam mengartikan sifat sifat Allah. 7.Al-Qur’an menggunakan juga dalil dalil akli (nalar). (al-Maturidiyah : h.59)

Apa yang dikemukakan oleh beberapa ulama tentang ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah secara rinci adalah lebih dalam rangka membedakan antara mereka dengan kelompok lainnya.

Barangkali yang lebih penting lagi dari sekedar merinci ajaran Ahlussunnah adalah karakteristik ajarannya. Karakteristik ajaran Ahlussunnah adalah : 1.Satu sumber yaitu Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’ para sahabat. 2.sesuai dengan dalil dalil yang sahih baik secara rasio maupun secara naql. 3.jelas dan gambalng. Bisa dimengerti oleh orang awam sekalipun. 4.tetap tidak tergoyahkan bersama dengan bergulirnya waktu. Karena ajaran ini sesuai dengan fitrah manusia.(Islam.Web).

Ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah bersifat “Tawassuth” atau moderat. Tidak ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Pengertian moderat disini adalah dari semua segi, baik dari segi akidah, syari’ah maupun akhlak. Sikap moderat yang demikian inilah yang menjadikan masyarakat mencintai ajaran ini. Dalam sejarah masuknya islam dipelbagai negeri islam, seperti negeri negeri arab, penduduk yang tadinya memeluk agama lain, serta merta mengganti keyakinan mereka, adat istiadat mereka, bahasa mereka dengan keyakinan, bahasa, adat istiadat bangsa yang menaklukkan merekayaitu kaum muslimin.

Ciri khas lainnya dari kelompok Ahlissunnah wal Jama’ah adalah semangat persatan (jama’ah) dan tidak senang dengan perpecahan.

 

Refleksi Pembaharuan Pemikiran Dikalangan Ahlussunnah

Dari pemaparan diatas terlihat betapa ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah memeprlihatkan kelenturan dalam pelaksanaan ajaran agama islam dan juga berbagai macam bidang kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun sosial. Inilah yang menyebabkan paham Ahlussunnah bisa diterima disemua lapisan masyarakat di Indonesia.

Pengalaman keagamaan di Indonesia menunjukkan bahwa paham Ahlissunnah bisa merasuk ke Indonesia, baik melalui pedagang dari Gujarat India, maupun dari Yaman dan lain lainnya bisa diterima oleh masyarakat Indonesia yang semula beragama Buda, Hindu bahkan kepercayaan bisa dengan cepat. Para Wali Sembilan yang menyebarkan Islam di tanah Jawa mempunyai peran yang sangat penting dalam proses islamisasi tanah Jawa. Hal ini tidak lepas dari fleksibilitas ajaran yang dikemukakan kepada orang jawa, sesuai dengan nalar dan fikiran, bahkan dalam hal etika banyak sesuai dengan prinsip prinsif filsafat hidup orang Jawa, ajaran Budha dan Hindu.

Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tahun 1945, para pemimpin Islam berselisih tentang bentuk negera Indonesia, antara yang agamis dan sekularis. Setelah perdebatan yang alot, akhirnya pemimpin Islam menyetujui bentuk negara Indonesia sebagai negara Pancasila yang menghormati semua Agama yang ada di Indonesia. Bahkan Sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi payung dari semua Sila yang ada dibawahnya.

Kemudian setelah itu kaum muslimin di Indonesia dihadapkan pada persoalan dasar dari semua organisasi massa yaitu berupa Asas Tunggal. Para pemuka Islam di Indonesia akhirnya bisa menerima Asas Tunggal dalam kehidupan bernegara, bukan dalam akidah dan prinsip prinsip ajaran Islam. Pada saat ini ajaran Islam sudah menyentuh banyak kehidupan bangsa Indonesia. Semua rukun Islam bisa dilaksanakan dengan baik, bahkan negara ikut membantu. Lalu dalam bidang Pendidikan, Ekonomi, sosial, Budaya,bisa berjalan dengan baik.

Refleksi pembaharuan pemikiran dalam pemikiran Ahlussunnah bisa dijabarkan dalam beberapa hal di bawah ini :

Pertama : Dalam hal akidah, pemahaman terhadap ajaran Ahlussunnah terhadap prinsip prinsip akidah tidak mengalami pembaharuan, seperti kepercayaan kepada rujukan Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Bahwa Allah adalah Esa (Tunggal), Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, percaya kepada hari akhir, menjadikan Al-Qur’an dan Hadis menjadi rujukan utama dalam ajaran Islam, mencintai sahabat Nabi, dan lan sebagainya merupakan ajaran yang masih lekat di hati kaum Sunni. Hanya saja pembacaan terhadap kedua sumber tersebut sedikit mengalami pembaharuan seperti pada masa lalu pembacaan terhadap kedua sumber tersebut bersifat Letterlyk atau tekstual, pada saat ini banyak yang melihat keduanya dengan kontekstual. Pada saat ini yang berkembang adalah melihat ajaran islam dari segi substansinya bukan dari segi kulit luarnya. Contoh dari pandangan tersebut adalah dalam persoalan politik, Hukum, Ekonomi dan Sosial.

Dalam hal akidah kaum Sunni mempunyai beberapa kelompok. Dari beberapa kelompok ini bisa terbagi menjadi dua bagian saja yaitu : Salaf dan Khalaf. Kaum salaf berkiblat kepada Ahmad bin Hambal, Ibnu Taymiyah, Ibn al Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab dan segenap ahli hadis. sementar a Khalaf berkiblt kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, al-Maturidi, Al-Ghazali, ar-Razi, al-Baqillani, Ibn Kullab dan lain sebagainya. Dari kelompok salaf yang memberlakukan ajaran agama secara ketat dan ada juga yang longgar. Dari kalangan Khalaf pun demikian, ada yang ketat dan ada yang longgar. Kitab “Sulamuttaufiq” yang dikarang oleh ulama Khalaf Sunni, adalah contoh betapa ketatnya hukum yang diberlakukan. Begitu juga dengan kitab “Ihya Ulumiddin” karya al-Ghazali. Sementara dari kalangan Khalaf banyak yang longgar dalam penerapannya seperti Imam Sayuthi, Imam Subki, dalam Fatawanya, atau Syekh Alwi Al Maliki (alm) di Mekkah dan seluruh koleganya. Tapi ketat atau longgarnya pemberlakuan ajaran islam, keduanya masih berada pada tataran Sunni.

Kedua : Dalam Hal Politik. Pada masa lalu bentuk negara yang semula harus berupa khilafah, pada saat ini setelah banyak muncul negara bangsa (Nation State), kaum Sunni bisa menerimanya dengan terbuka. Bentuk pemerintahan juga disikapi oleh kalangan Sunni dengan sikap fleksibel. Kalangan Sunni menganggap bahwa bentuk pemerintahan adalah sebagai sarana saja untuk melaksanakan agenda umat islam dalam melaksanakan ajaran agama. Bukan merupakan tujuan utama. Pemerintahan bisa berupa kerajaan (Monarchi) bisa juga berupa Parlementer, bisa juga berupa Republik, selama hal tersebut dilakukan melalui musyawarah bersama. Peristiwa politik yang berdarah di Indonesia pada tahun 50 an, seperti pemberontakan yang dilakukan oleh DI (Darul Islam) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo yang menghendaki Negara Islam, yang mencerminkan pemahaman konservatif dan tekstual, tidak mendapat tanggapan dari banyak kalangan kaum muslimin. Kepala pemerintahan dalam nizham “Khilafah” yang semula diharuskan harus mempunyai pengetahuan agama islam yang luas, tidak lagi demikian. Kepala pemerintahan yang semula harus dari kalangan kaum lelaki, tidak lagi demikian. Banyak ulama Sunni yang memperbolehkan perempuan menjabat sebagai kepala pemerintahan.

Kepercayaan kaum Sunni yang tidak memperbolehkan anggauta masyarakat dalam sebuah negara membangkang dan memberontak kepda pemerintahan yang sah walaupun mereka zalim, selama masih mendirikan salat, sebagaimana dalam hadis Nabi :

مسند أحمد – (ج 24 / ص 58)

– حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا أَبِى. وَعَفَّانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ حَدَّثَنِى الْوَلِيدُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْبَهِىِّ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ تَطْمَئِنُ إِلَيْهِمُ الْقُلُوبُ وَتَلِينُ لَهُمُ الْجُلُودُ ثُمَّ يَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ تَشْمَئِزُّ مِنْهُمُ الْقُلُوبُ وَتَقْشَعِرُّ مِنْهُمُ الْجُلُودُ ». فَقَالَ رَجُلٌ أَنُقُاتِلُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا الصَّلاَةَ ».

معتلى 8286 مجمع 5/218

(Nabi bersabda : akan datang kepadamu para pemimpin yang disenangi dan di segani, lalu akan ada pemimpin yang tidak disenangi dan ditakuti, ada sahabat yang bertanya : apakah kami bleh memerangi mereka? Jawab Nabi : tidak boleh, selama mereka masih melaksanakan salat)

 

kata Imam Abul Hasan Al Asy’ari dalam kitabnya “Maqlatul islamiyyin”:

مقالات الإسلاميين – (ج 1 / ص 111)

وقال قائلون: السيف باطل ولو قتلت الرجال وسبيت الذرية وأن الإمام قد يكون عادلاً ويكون غير عادل وليس لنا إزالته وإن كان فاسقاً وأنكروا الخروج على السلطان ولم يروه، وهذا قول أصحاب الحديث.

(Ada yang berpendapat : mengangkat senjata tidak boleh, walaupun banyak korban dari kalangan kaum lelaki dan banyak wanita yang ditawan. Pemimpin kadangkala adil, tapi kadangkala zalim, namun kita tidak boleh memberontak, walaupun mereka fasik. Pendapat tersebut tidak memperbolehkan memberontak kepada pemerintah yang sah. Inilah pendapat ulama Hadis).

Melalui pandangan yang demikian maka kaum Sunni dimanapun berada selalu berada pada keadaan yang bisa di terima oleh semua pemerintahan di dunia. Selain negeri Komunis pada masa lalu. Khususnya pada “Revolusi Kebudayaan” pada masa Mao Zedong di China.

Ketiga : Dalam Bidang Hukum. Ulama Sunni mempunyai pengalaman yang sangat luas dalam bidang hukum islam. Kaidah kaidah fikih yang telah di produk oleh mereka, sesuai dengan pandangan masing masing madzhab, merupakan bagian yang integral dalam cara mengantisipasi perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Sehingga tidak ada satupun persoalan yang tidak bisa dipantau oleh hukum, baik hukum privat maupun hukum sosial. Yang terjadi perobahan dalam bidang fikih adalah perobahan dari “Fikih Qauli” yang mengikuti fatwa ulama pendahulu secara qaul saja menuju ke “Fikih Manhaji” yaitu mengikuti metode berfikir dari masing masing Mujtahid. Dengan cara demikian maka ulama Sunni masa kini bisa dengan leluasa menggunakan metode berfikirnya ulama fikih masa lalu. Kaedah yang mengatakan : ( الأصل فى الأشياء الاباحة ) bahwa segala sesuatu transaksi atau makanan pada dasarnya adalah di perbolehkan, merupakan landasan berfikir untuk menentukan berbagai macam produk hukum yang muncul belakangan ini.

Pada masa kini berkembang dikalangan Sunni wacana untuk mengguakan teori “Maqashid Asy-Syari’ah” atau “Fiqh al-Maqashid” sebagai pijakan dalam menentukan satu permas’alahan hukum. Teori ini sebenarnya telah muncul pada masa lalu seperti apa yang terdapat dalam kitab “Qawa’id al Ahkam fi Mashalih al Anam” karya Izzuddin Ibn Abdissalam” atau kitab “Al-Muwafaqat Fi Ushul Asy-Syari’ah” karya Imam Syathibi dan lain lainnya. Jika teori ini dikembangkan maka banyak produk hukum yang lalu tidak lagi dipakai pada saat ini mengingat situasi dan kondisinya sudah berbeda.

Dikalangan Sunni juga muncul pemikiran yang memisahkan antara Islam sebagai ajaran yang bersifat Universal dan budaya Arab yang bersifat lokal. Melalui pemisahan ini maka kelompok Sunni bisa bergerak secara leluasa dalam berbusana asal memenuhi standar syari’ah.

Keempat : dalam Bidang Hubungan antar Umat Beragama. Dalam bidang ini telah berkembang pemikiran yang meniscayakan adanya paham “Ta’addudiyyah” atau paham yang meniscayakan adanya pluralitas dalam berbagai kehidupan. Banyak teks teks keagamaan yang meniscayakan teori ini, tapi banyak kalangan masih terobsesi pada sejarah umat islam pada masa lalu yang menjadikan umat islam sebagai umat yang superiotas, sementara yang lainnya harus berada dibawah mereka. Pada saat ini keadaan telah berobah. Yang ditonjolkan justeru Islam sebagai agama yang membawa rahmah kepada alam, islam yang sejuk, bukan islam yang garang. Muncul pembagian Ukhuwwah menjadi beberapa bentuk yaitu : Ukhuwwah Insaniyyah (persaudaraan antar manusia), Ukhuwwah Diniyyah (persaudaraan antar pemeluk agama), Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan antara sesama kaum muslim) sampai kepada Ukhuwwah Wathaniyyah (persaudaraan antara warga di satu negara). Semuanya itu merupakan bentuk perkembangan pemahaman ASWAJA dalam mengantisipasi perkembangan zaman. Di Indonesia sendiri telah terbit aturan tentang penyebaran agama, ada organisasi yang mengikut sertakan semua umat beragama yang dipelopori oleh Departemen Agama RI. Tujuannya agar semua umat beragama menjadi rukun.

Kelima : dalam Bidang Ekonomi. Kalangan Sunni tidak serta merta menolak ekonomi Kapitalis yang banyak diterapkan dan dikembangkan oleh negara Islam. Tapi mereka masih memilah mana produk ekonomi Kapitalis yang bisa diterima dan mana yang tidak. Mereka juga berusaha untuk memunculkan teori ekonomi yang berbasiskan syari’ah Islam. Muncullah Bank Syari’ah, Bank Tamwil dengan semua produk produknya. Ternyata teori ini mendapatkan sambutan yang cukup baik dari semua kalangan. Umat islam memang ditantang untuk mewujudkan teori baru yang bebas dari MAGRIB (Maysir:judi-Garar:penipuan-Riba:bunga berbunga dan -Batil). Untuk mewujudkan teori ini diperlukan kesungguhan dari semua pihak tanpa ada kecurigaan yang berlebihan. Apa yang dilakukan oleh Malaysia dalam hal ini merupakan teobosan yang mengagumkan bagi kaum muslim dan dunia Islam.

Keenam : dalam Bidang Pendidikan. Pada masa lalu ada pandangan yang mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ulama juga terbagi menjadi dua. Ada Ulama dan ada Cendikiawan. Sebutan Ulama untuk mereka yang mendalami hukum islam, sementara Cendikiawan menjadi sebutan untuk kalangan cerdik pandai dari kalangan ilmu umum (sekular). Namun pada masa sekarang ini dikotomi ini semakin menipis. Ismail Raji Al-Faruqi seorang pemikir islam dari Sunni pernah melontarkan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Pengaruh dari pemikiran ini munculnya banyak kalangan umum yang mencoba melakukan penyelidikan terhadap ayat ayat Al-Qur’an dan Hadis untuk membuktikan kebenaran Islam. Hubungan yang harmonis antara Islam dan Ilm Pengetahuan menyebabkan islam tidak lagi berada di Masjid masjid, surau surau, tapi islam sudah merambah ke seluruh sektor kehidupan.

Penutup

Dari pemaparan diatas nyatalah bagi kita bahwa ajaran ASWAJA merupakan ajaran yang memiliki ketegasan dalam sikap mengikuti ajaran agama islam seperti dalam hal akidah dan ajaran pokoknya, tapi disisi yang lain paham ASWAJA mempunyai fleksibilitas dan kelenturan dalam hal hukum dan kemasyarakatan. Kelenturan ini menyebabakan ajaran ASWAJA mendapatkan tempatnya dihati masyarakat di seluruh penjuru dunia, dari masa lalu hingga saat ini. Dengan demikian kita semakin yakin bahwa ajaran ASWAJA adalah ajaran yang perlu diteruskan dari generasi ke generasi, terutama di ranah Melayu yang etika, budaya dan adat istiadatnya banyak yang sesuai dengan ajaran Sunni. Inilah ajaran yang digariskan oleh Nabi, sahabatnya dan pengikut pengikutnya yang setia.

 

Cirebon, 17 Februari 2009.

_____________________

Referensi :

1. Al-Maturidiyyah: Dirasah wa Taqwim, Al-Harbi, Ahmad bin ‘Awadlullah bin Dakhil al- Luhaibi, Dar al-Ashimah, Riyadl, Saudi Arabia, 1413 H.

2. Al-Fashl Bainal Milala wan-Nihal, Ibn Hazm, al-Maktabah asy-Syamilah.

3. Maqalat al-Islamiyyin, Abul Hasan al-Asy’ari, al-Maktabah asy-Syamilah.

4. Islam Web.