Al-Qur’an dan Kemiskinan Umat
Ali Mursyid, M.Ag
Dosen Fakultas Ushuludin IIQ Jakarta
Sejatinya, kemiskinan memilki sejarah yang cukup panjang, bahkan ia telah ada jauh sebelum datangnya Islam. Hal ini tercermin dari rusaknya moral-budaya dan tatanan masyarakat pada zaman jahiliyah. Pada masa kejayaan Islam, banyak fakta sejarah yang menunjukkan bahwa kemiskinan dapat terhapuskan. Umar bin Khattab r.a. pernah menjadikan Yaman sebagai satu provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa Gubernur Yaman waktu itu, Mu’adz bin Jabal, mengirim sepertiga dari total hasil zakat dari provinsi itu ke Madinah, separuh di tahun berikutnya, dan semua hasil di tahun ketiga. Zakat dikirim ke Ibu Kota setelah tidak bisa dibagi lagi didalam propinsi. Bukti kedua pengentasan kemiskinan juga terjadi pada dua tahun masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, dimana pada waktu itu sudah tidak diketemukan l agi orang miskin dalam negara (Monzer Kahf, 1999).
Namun, sejarah kemiskinan di dunia Islam rupanya kini telah berulang, terlebih semenjak runtuhnya daulah Islamiyah dan hadirnya kolonialisme di negara-negara muslim. Sejak berakhirnya perang dunia II, negara-negara non-muslim telah menyaksikan kuatnya arus perubahan yang diawali dengan reformasi institusi, pemerintahan yang bersih, pembangunan berkapasitas besar, investasi modal serta partisipasi dan kemerdekaan rakyatnya.
Sayangnya, kebanyakan negara-negara muslim tetap tidak tersentuh dengan arus perubahan tersebut, sehingga menjadikan negara-negara muslim menderita karena keterbelakangan ekonomi, kekurangan pengetahuan, tingkat kemiskinan dan penderitaan yang amat parah. Alih-alih mengembalikan martabat umat Islam dan memperkuat sendi-sendi ekonominya, justru umat Islam lebih menjadi pengemis-pengemis internasional (international begger) yang hidup dari pemberian orang-orang non-muslim.
Definisi Miskin dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an dan Sunnah juga nampak tidak diketemukan pengertian tentang miskin dan fakir. Karena itulah, sebagian ulama, terutama kalangan fuqaha, memberikan definisi yang berbeda tentang pengertian miskin dan fakir
Imam al-Qurthubi mencatat sembilan pendapat yang berbeda tentang pengertian kedua istilah tersebut. Salah satu di antaranya adalah miskin berarti orang yang memiliki penghasilan tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, sedangkan fakir adalah orang yang sama sekali tidak memiliki penghasilan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin. Meskipun ditemukan beragam pendapat mengenai pengertian miskin dan fakir, satu hal yang jelas adalah baik fakir maupun miskin adalah kelompok orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
Masalahnya apa yang disebut hidup layak itu sendiri, tidak seragam lagi dalam definisinya. Dan karena tidak ada kriteria yang jelas tentang batas-batas ukuran kemiskinan dan kefakiran dari teks al-Qur’an maupun Hadits Nabi saw, hal ini menyebabkan ukuran dan standar hidup layak di masing-masing mayarakat yang berbeda maka akan berbeda pula. Tetapi bagaimanapun, yang pasti adalah bahwa kelompok miskin dan juga fakir tersebut ada. Dan Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.
Bersambung……………. Tulisan ini adalah bagian awal artikel penulis yang dipresentasikan dalam diskusi dosen IIQ