LPPI IIQ Jakarta: Diskusikan Hukuman Mati bagi Koruptor
CIPUTAT – Rabu 01/05/2013, Lembaga Pengkajian dan Penelitian Ilmiah (LPPI) IIQ Jakarta menyelenggarakan diskusi regular dosen, di gedung baru kampus IIQ. Acara yang diselenggarakan ba’da zhuhur ini, menurut Dr. Romlah Widayati, selaku ketua LPPI, adalah kegiatan diskusi rutin yang diikuti oleh para dosen.
Berlaku sebagai narasumber, M. Ulinuha Khusnan, MA dan Dr. Ahmad Fudhaili, MA. Ulinuha mempresentasikan tema “Hukuman Mati Bagi Koruptor dalam Perspektif al-Qur’an” dan Ahmad Fudhaili membawakan tema diskusi “Metode Kritik Hadits Aisyah”.
Dalam presentasinya Ulinuha mula-mula menjelaskan beberapa kata kunci dalam al-Qur’an yang dapat membantu untuk mengidentifikasi apa itu korupsi. “Korupsi sendiri dalam pengertiannya yang sekarang ini, belumlah di kenal di masa lalu, al-Qur’an sendiri menyebutkan beberapa kata kunci untuk mengidentifikasikan kejahatan korupsi ini, yaitu seperti bahwa korupsi itu mengandung unsur saraqah (pencurian), penyuapan (risywah), penipuan dan penyalah gunaan wewenang (ghulwu), kejahatan perusakan (fasad dan atau hirabah)” kata Ulinuha, memulai diskusi.
Menurutnya, dalam Hukum Islam (fiqh), hukuman bagi korupsi adalah ta’zir. Dan jenis hukuman ta’zir semacam apa dan bagaimana yang dikenakan bagi para koruptor, dalam pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah setempat. Dan dalam peraturan pemerintah kita, ada tercantum mengenai Hukum Mati bagi koruptor.
Sementara itu Ahmad Fudhaili, dalam presentasinya, menyatakan bahwa kegiatan kritis terhadap hadits yang diriwayatkan sesungguhnya muncul sejak Aisyah ra, karena Aisyah merupakan orang yang pertama yang selektif terhadap hadits. “Dari model, cara dan kebiasaan Aisyah menyeleksi hadits-hadits yang diterimanya ini, kita bisa rumuskan apa saja metode kritik hadits yang dirumuskan dan digunakan oleh Aisyah” tegas Fudhaili penuh semangat.
Setelah presentasi dua narasumber tersebut, Romlah selaku moderator membuka sessi diskusi dengan mempersilahkan para peserta diskusi untuk bertanya atau menanggapi atau melengkapi atau sekedar berkomentar terhadap dua makalah yang baru saja dipresentasikan.
Beberapa peserta pun menanggapi dan juga ada yang bertanya. Ali Mursyid, salah seorang dosen yang hadir dalam diskusi tersebut, menanyakan kepada Fudhaili, apakah kritik hadits Aisyah itu tidak bertentangan dengan prinsip “al-shahâbah kulluhum ‘udûl (semua sahabat adalah adil)”? Sementara kepada Ulinuha, Ali menanyakan tentang pandangan Ulinuha mengenai adanya pernyataan dalam kitab fiqih klasik, seperti Hasiyah Jamal yang mengutip dari kitab Majmû’ Syarh al-Muhadzab, yang menyatakan bahwa bila pemerintah tidak memberikan rakyat akan hak-haknya, maka boleh saja rakyat mengambilnya dari Baitul Mal, sekedar cukup bagi haknya. “Bagaimana komentar mas Ulin mengenai hal itu? Tanya Ali.
Muzayanah, peserta diskusi, menanyakan pengalamannya mengenai lambatnya pelayanan oleh pemerintah, baik itu pelayanan administrasi maupun layanan keuangan, seperti lambatnya pencairan dana sertifikasi dosen dan lainnya.
Dr. Nadjematul Faizah, dosen dan peserta diskusi, menyarankan agar dalam membahas masalah korupsi, contohnya janganlah jauh-jauh dan terlalu mengawang-awang, tetapi mari kita amati dan kritisi yang ada di sekitar kita saja.
Menjawab pertanyaan Ali Mursyid, Fudhaili menyatakan bahwa dalam metode kritik hadits yang dilakukan Aiysah tidak menyebutkan pentingnya ‘adalatu al-shahabah, tetapi hanya disyaratkan adanya periwayat yang dhâbith. Jadi menurutnya, metode kritik hadits Aisyah tidak bertentangan dengan kaidah yang menyatakan bahwa setiap sahabat itu adil (al-shahabah kulluhum ‘udûl).
Menanggapi pernyataan dalam kitab Hasyiyah Jamal yang menyatakan bahwa diperbolehkan mengambil harta negara (pemerintah) bila harta tersebut ditimbun oleh pemerintah tanpa adanya untuk upaya mengucurkan ke rakyat banyak, yah itu sih bila dimubahkan sekarang, tehniknya bagaimana? “Kan dulu yang disebut dengan Baitul Mal itu seperti gudang penyimpanan, dimana bisa dengan mudah diambilin isinya” jelas Ulinuha. (Ali Mursyid)