LPPI IIQ: Diskusikan Ayat Poligami Melalui Keragaman Qira’at al-Quran
JAKARTA, Jum’at, 05/02/2016, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Ilmiah (LPPI) IIQ Jakarta, menyelenggarakan Seminar Sehari dengan menghadirkan dua narasumber, Dr. Hj. Romlah Widayati MA dan Dr. KH. Ahmad Fathoni MA. Acara ini diselenggarakan sebagai wadah bagi dosen dan civitas akademika IIQ dalam sosialisasi ide dan pengembangan pemikiran serta keilmuan, dalam batas-batas nilai-nilai Qurani dan Syar’i.
Narasumber pertama, Dr. Romlah, mempresentasikan makalah dengan tema “Memahami Penafsiran Ayat Poligami Melalui Pendekatan Qira’at al-Qur’an”. Dalam presentasinya, Warek III IIQ ini mula-mula menyatakan; “Makalah ini mencoba melihat penafsiran ayat poligami melalui pendekatan qira’at. Pilihan terhadap masalah poligami, mengingat ayat ayat ketiga surah an-Nisa’ ini oleh sebagian kelompok kerap dijadikan sebagai rujukan perintah berpoligami. Yang menurut kelompok lainnya, ayat tersebut dianggap berbicara tentang anak yatim, dan bukan poligami. Selain dari itu, kosa kata pada ayat 3 surah an-Nisa’, banyak dijumpai perbedaan qira’at, sehingga menarik untuk dikaji”.
Lebih jauh, Dr. Romlah yang notabene dosen Ilmu Qira’at ini, menjelaskan perbedaan penafsiran tentang ayat poligami, bila didekati dengan pendekatan Qira’at al-Qur’an yang beragam. Dalam penjelasannya beliau menjelaskan: “Dalam menafsirkan ayat ini, ada beberapa perbedaan qirâ`ât: Pertama, lafal تُقْسِطُوا pada firman Allah وَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوا فِى الْيَتًمَى, ada dua perbedaan qirâ`ât, yaitu: (1) Imam Qirâ`ât tujuh membaca dengan dhammah thâ (tuqsithû) (2) Al-Nakha’i dan Ibrâhim ibn Watsâb membaca fathah ta` (taqsithû). Al-Zajjâj sebagai mana dikutip Abu Hayyân mengemukakan bahwa kedua kata tersebut mempunyai makna sama, yaitu adil. Sedang menurut Ahmad ibn Fâris, kedua kata tersebut mempuyai akar kata sama yaitu: ق – س – ط namun antara keduanya mempunyai arti yang berlawanan. Kata تُقْسِطُوا berasal dari kata aqsatha –yuqsithu sinonim dengan kata ‘adl (adil). Adapun تَقْسِطُوا berasal dari kata qasatha– yaqsatu sinonim dengan al-jaur artinya curang lawan dari adil. Al-Zamaksyari maupun Ibnu ‘Athiyyah cenderung berpendapat bahwa antara kedua kata di atas mempunyai makna berbeda dan saling berlawanan. Menurut mereka لا pada qirâ`ât pertama kedudukannya sebagai la nafiah (لا النافية) adapun لا pada qirâ`ât kedua kedudukannya sebagai la zaidah (لا زائدة). Dengan demikian, jika maksud ayat tersebut dikaitkan ke dalam qirâ`ât, maka pada qirâ`ât pertama dapat diterjemahkan “apabila kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah yang kamu senangi dari wanita-wanita lain…” Adapun pada qirâ`ât kedua diterjemahkan “apabila kamu takut berbuat curang terhadap perempuan yatim, maka kawinilah yang kamu senangi dari wanita-wanita lain…” Dengan demikian, redaksi pada qirâ`ât kedua ini adalah “wain khiftum an tajûru” jika kamu takut berbuat curang. La zaidah sering dijumpai pada ayat lain seperti pada QS.Al-Hadîd [57]:29 . Pendapat kedua ini dinilai lebih masyhur oleh Abu Hayyân dari pada al-Zajjâj. Namun Abu Hayyân tidak memberikan penafsiran lebih mendetail tentang perbedaan qirâ`at tersebut.
Jika ditelusuri lebih jauh perbedaan qirâ`ât tersebut akan berimplikasi terhadap perbedaan penafsiran. Berdasarkan makna yang terkandung pada qirâ`ât “tuqsithû” memberi pemahaman bahwa syarat yang dituntut oleh orang yang melakukan poligami adalah mampu berbuat adil. Adapun berdasarkan makna yang dikandung oleh qirâ`ât yang membaca taqsithû memberi pemahaman bahwa syarat melakukan poligami dituntut lebih dari sekedar mampu berbuat adil saja, tetapi dituntut lebih dari itu, yaitu tidak menyia-nyiakan dengan mengabaikan dan menterlantarkan atau menzhalimi keluarganya. Untuk itu diperlukan kesiapan lahir batin. Secara lahiriah dituntut mampu mempersiapkan kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang cukup, bahkan yakin dikemudian hari akan mampu menciptakan suasana damai dan tenteram dalam berumah tangga. Adapun kemampuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan serta kesiapan mental tersebut harus dipersiapkan sebelumnya, sebagaimana syarat yang harus dipenuhi sebelum memasuki jenjang perkawinan, yaitu mampu memberi nafkah. Jika tidak mampu hukum wajib menikah bisa turun menjadi, makruh, bahkan haram, kalau menikah membuat keluarga sengsara dan teraniaya.
Demikian halnya dengan berpoligami, jangan sampai melakukan poligami membuat keluarga sengsara dan terlantar, tanggung jawab yang mestinya dilaksanakan diabaikan, karena belum siapnya mental maupun finansial. Dengan demikian syarat melakukan poligami harus dipenuhi sebelum memasuki perkawinan, bukan setelah melakukan perkawinan. Jika yang menjadi syarat berpoligami adalah kemampuan berbuat adil terhadap istri-istrinya, bisa jadi keadilan itu akan terpenuhi setelah memasuki perkawinan, karena untuk mengukur mampu berbuat adil atau tidaknya dapat diketahui setelah berumah tangga. Tetapi untuk mengetahui sanggup atau tidaknya dalam mencukupi kebutuhan dapat diukur sebelum memasuki jenjang perkawinan. Syarat yang dipahami berdasarkan qirâ`ât syâdzdzah ini sesuai dengan pemahaman makna pada redaksi kalimat selanjutnya, yaitu ”dzâlika adnâ allâ ta`ûlû.” Kata ta`ûlû artinya al-jaur (zhalim,berpaling dari kebenaran, perbuatan dosa, menyakiti, tidak adil, curang, boros, lalim, melampaui batas, dan sebagainya). Kata ini pula dijadikan ’illat melakukan poligami, sebagaimana dijelaskan di bawah.
Kedua, perbedaan qiraat pada ayat poligami terdapat pada pada lafal ماطاب ada tiga perbedaan bacaan, yaitu: (1) Imam qirâ`ât tujuh membaca ماطاب (2) Ibnu ‘Abi ‘Ublah membaca من طاب. (3) al-A’masy dan Ibn Abi Ishâq al-Jahdari membaca ماطاب dengan imalah alif ,bacaan ini mengikuti rasm yang tertera pada mushaf Ubay ibn Ka’ab yaitu (ماطيب). Perbedaan qirâ`ât ini membawa pengaruh terhadap perbedaan pemahaman. Adapun makna ماطاب menurut sebagian ulama bahasa, ما bisa digunakan untuk sesuatu yang berakal. Adapun pendapat lain mengatakan ما pada ayat tersebut diartikan perempuan. Kata ما yang artinya apa biasanya dalam tata bahasa Arab dipakai untuk kata benda yang tidak berakal seperti meja, kursi, pohon dan sebagainya. Namun demikian, ما bisa digunakan untuk sesuatu yang berakal sehingga ما dipahami dengan arti من yaitu ditujukan kepada perempuan menurut mereka karena perempuan mempunyai daya intelektual rendah sehingga disamakan dengan benda. Al-Râzi memberi contoh lain ما yang digunakan untuk perempuan sebagaimana firman Allah QS. Al-Ma’ârij [70]: 30.
Menurut Abu Hayyân, pendapat tersebut lemah sehingga tidak dapat diterima. Jika perempuan dinilai mempunyai daya intelektual kurang. Jelas hal ini tidak sesuai dengan misi Al-Qur’an yang mengangkat derajat kaum perempuan. Ajaran Islam dengan sumber utamanya Al-Qur’an dan hadis tidak membeda-bedakan antara kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah dan menerima imbalan yang sama atas hasil usahanya (QS. Al-Nisâ`[4]: 123; Al-Nahl [16]: 97; Al-Ahzâb [33]: 35). Bahkan Al-Qur’an pun tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal tanggung jawab beramar ma’ruf nahi munkar (QS.Al-Taubah 9: 71), dan dituntut mengadakan kerjasama di antara mereka. Menurut Al-Syaukani, kerja sama yang dijalin antara keduanya adalah dalam urusan menegakkan ajaran agama, menegakkan kebenaran, menjalin kerja sama dalam urusan ubudiyah maupun mu’amalah sesuai dengan ajaran agama Islam. Mereka akan memperoleh prestasi dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Prestasi mulia dan kedudukan yang tinggi akan diberikan Allah kepada kedua hamba-Nya yang berlainan jenis ini, tergantung pada prestasi mereka masing-masing.
Dalam terjemahan al-Qur’an memang dijumpai terjemahan yang terkesan masih kurang tepat, misalnya terjemahan al-Qur’an al-Karim yang diterbitkan oleh Menara Kudus tahun 1427 H. Ayat ini diterjemahkan sebagai berikut “dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi 2, 3, atau 4”. Terjemahan ini memahami arti kata ما (apa) pada ayat tersebut dengan perempuan. Terjemahan seperti ini kurang tepat, karena masih terkesan misoginis. M. Quraisy Shihab menerjemahkan ayat ini sebagai berikut “dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah yang kamu senangi dari wanita-wanita lain 2, 3, atau 4.”
Jadi, menurut M. Quraish Shihab, kata “apa” diterjemahkan dengan sesuatu yang kamu senangi dari wanita-wanita lain. Pendapat ini senada dengan pendapat yang diambil oleh sebagian ahli bahasa yang didukung oleh Abu Hayyân. Arti “apa” yang disenangi dari wanita bisa ditafsirkan banyak, baik karena kecantikannya, akhlaknya, tutur katanya, atau karena kekayaannya dan lain sebagainya. Bukankah seorang pria yang ingin menikahi seorang wanita karena tertarik dengan sifat, sikap, kecantikannya, atau agamanya sebagaimana disebut dalam beberapa hadis, di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi:
Dengan demikian, bacaan imam qirâ`ât tujuh yang membaca mâ thâba lakum (مَاطَابَ لَكُمْ) tidak tepat diterjemahkan dengan perempuan karena terkesan men-subordinasi-kan kedudukan dan peran perempuan. Oleh karena itu, arti yang tepat yaitu ditekankan pada sifat yang dimiliki perempuan. Adapun qira’at Ibnu ‘Abi ‘Ubla membaca man thâba adalah memperjelas maksud dari pemahaman ayat tersebut. Qira’at ini adalah qira’at Syâdzdzah. Sekalipun tidak mutawatir, dari segi kaidah bahasa tidak menyalahi, karena itu dapat dijadikan hujjah dalam rangka memperjelas maksud ayat Al-Qur’an.
Adapun bacaan Ibnu Abi Ishaq al-Jahdari dan al-A’masy yang membaca imalah tidak membawa pengaruh terhadap perbedaan makna, karena perbedaan ini hanya berkaitan dengan lahjah (dialek). Dalam mushaf Ubay ibnu Ka’ab ditulis dengan ya’ (طيب) untuk menunjukkan adanya bacaan imalah alif setelah thâ’(theba). Imâlah adalah bacaan antara harakat fathah dengan kasrah lebih cenderung ke kasrah. Al-Jahdari dan al-A’masy adalah salah seorang dari Imam Qirâ’ât Arba`a‘Asyrah. Pada dasarnya, salah seorang dari Imam Qirâ’ât Sab’ah yaitu Imam Hamzah juga membaca imâlah alif. Sebagaimana dijelaskan dalam syarah bait Syathibiyah.
Ketiga, perbedaan qiraat pada ayat poligami juga terdapat pada lafal فَوَاحِدَة pada فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تَعْدِلوُا فَوَاحِدَةً ada perbedaan qirâ`ât, yaitu: (1) al-Hasan, al-Jahdari, Ibn Hurmuz, dan Abu Ja’far membaca rafa’ فَواَحِدَةٌ (2) Imam qirâ`ât tujuh membaca nasab فَوَاحِدَةً. Dalam memahami kedua qirâ`ât ini, al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyyah membedakan antara keduanya. Pada qirâ`ât yang membaca nasab (فَوَاحِدَة) mempunyai makna “ apabila kamu khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan yatim, sudah semestinya juga khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan lain yang kamu nikahi dua, tiga, atau empat.” Pemahaman ini dikuatkan oleh sabab nuzul yang dikemukakan Ibnu ‘Abbâs yang menyatakan bahwa sebagian orang Arab merasa takut terhadap harta kekayaan perempuan yatim, karena khawatir mereka merasa enggan menikahinya. Namun mereka tidak merasa khawatir berbuat adil terhadap istri-istri yang mereka nikahi. Adapun qirâ`ât (bacaan) yang membaca rafa’ فَواَحِدَةٌ menurut Ibnu ‘Athiyyah kedudukannya sebagai mubtada`, khabarnya muqaddar, yakni فَواَحِدَةٌكافِيَةٌ (apabila tidak bisa berbuat adil menikahi perempuan-perempuan tersebut, maka cukup satu saja). Sedangkan menurut al-Zamakhsyariy, dibaca rafa’ kedudukannya sebagai khabar, yakni فَحَسْبُكُمْ وَاحِدَةٌ.
Dari sini dipahami bahwa qirâ`ât yang membaca rafa’ memberi penjelasan atau penegasan bahwa menikahi perempuan lebih dari satu syaratnya harus bisa dan mampu berbuat adil. Pengertian adil sangat luas, mencakup adil dalam memberikan bagian, dalam hal nafkah, dan pakaian, bahkan di dalam membagi cinta. Mengingat keadilan jenis terakhir, yaitu dalam hal membagi cinta sangat sulit, oleh banyak pakar keadilan ini tidak termasuk dalam syarat berpoligami, demikian menurut Abu Hayyân. Keadilan itu sulit dipenuhi setiap orang yang berpoligami, karena itu cukuplah menikahi satu perempuan saja, demikian berdasarkan pemahaman dari pendapat Ibnu ‘Athiyyah dan al-Zamakhsyari sebagaimana dikutip Abu Hayyân. Imam al-Râzi juga menegaskan bahwa dibaca nasab “fa wâhidatan” artinya maka mestilah atau maka pilihlah seorang istri dan tinggalkan poligami, karena semua itu harus didasari dengan keadilan, di mana ada keadilan maka diperbolehkan. Adapun dibaca rafa’ “fa wâhidatun” taqdirnya “fa hasbukum wâhidatun” atau “fa kaffat wâhidatun” artinya maka cukup seorang istri atau budak belia.
Menurut Rasyîd Ridha, prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogami, kebolehan berpoligami karena darurat menurut kadar kebutuhan. Ia menilai pada umumnya kaum laki-laki melakukan poligami terdorong untuk memuaskan nafsu bukan karena mencari kemaslahatan. Demikian halnya Musthafa al-Maraghi yang berpendapat bahwa kebolehan berpoligami dipersempit, karena kebolehannya adalah darurat bagi orang yang membutuhkan sekali dengan penuh kepercayaan untuk berlaku adil dan menghindari kecurangan.
Sementara, narasumber kedua Dr. KH. Ahmad Fathoni, MA memperenstasikan makalah tentang ”Rasm Utsmani”. Dalam pemaparannya, dosen ahli dalam bidang Qira’at dan Rasm yang notabene lulusan Madinah ini mengatakan: ”Banyak kekeliruan terjadi, banyak kesalahpahaman para intelektual, para akademisi kampus-kampus di Indonesia tentang Rasm Utsmani. Selama ini disampaikan bahwa ketika sahabat Utsman membukukan al-Qur’an dalam apa yang dikenal dengan Mushaf Utsmani, dikirnya yang ditulis itu satu macam Mushaf Utsmani, disebar ke berbagai penjuru negeri Islam saat itu, dengan model bacaan (Qira’at) yang beragam. Padahal yang benar adalah bahwa saat itu yang ditulis oleh Tim, adalah Mashahif Utsmany, Mushaf-Mushaf Utsmani, artinya banyak mushaf Utsmani, dan bukannya satu model mushaf saja. Tentu juga dengan keragaman cara baca dan cara menuliskannya. Demikian jelas Dr. H. Ahmad Fathoni.
Setelah masing-masing narasumber itu memaparkan makalahnya, forum kemudian dilanjutkan dengan sessi diskusi. Pertanyaan, komentar dan sanggahan banyak muncul dari peserta diskusi. Hadir dan turut aktif berdikusi dalam kesempatan ini, Rektor IIQ Prof. Dr.Huzaemah T. Yanggo, Warek I IIQ Dr. Hj. Nadjematul Faizah, SH.M.Hum, Warek II Bpk. H. Daud Arief Khan, Para Dekan IIQ, Asdir Pasca, Para Ketua Lembaga, Para Dosen, mahasiswa-mahasiswa, bahkan ada juga mahasiswa dari luar kampus, juga para karyawan dan staf IIQ. (AM)